MENJADI MANUSIA LICIK
Langkah kakiku malam ini di
kesunyian kampus membawaku pada satu perenungan besar. Apa yang sudah
kudapatkan 3 tahun lebih berada di kampusku? Apa yang telah tertanam dalam
diriku setiap hari yang kulalui dari masa TPB hingga aku pada fase mengerjakan
Tugas Akhir seperti sekarang. Hanya satu jawaban yang langsung terlontar dari
otakku. Aku hanya belajar MENJADI MANUSIA LICIK.
Entah ini salah atau benar. Tapi
hanya itu semua yang tiba-tiba terlintas dalam pikiranku. Aku mendapati kondisi
dimana diriku dihadapkan pada berbagai permainan, konspirasi, negosiasi,
praktik lobby-lobby dan berbagai hal lain selama aku menjadi mahasiswa disini.
Mungkin tak salah semua praktik
itu. Aku mulai bernegosiasi dengan diriku sendiri. Karna hidup ini bukannya
juga selalu berhadapan dengan proses politik. Jarang sekali ketulusan itu ada
dalam setiap pemaknaan hidup. Berteman karna suatu kepentingan, entah
menghilangkan kesepian, memanfaatkan ketenaran teman, memanfaatkan kepandaian
ataupun sebagainya. Lalu bila butuh bantuan datang ke orang yang dianggap bisa
membantu. Akhirnya paling tragis demi sebuah kepentingan memanfaatkan teman
menjadi seorang boneka. Hingga asas kepercayaan dijadikan taruhan. Layaknya
tisu bekas yang tak ada gunanya lagi.
Sekali lagi, entah ini salah atau
benar. Tapi ini yang terjadi di sekelilingku. Seseorang memanfaatkan orang lain
demi kepentingannya. Bahkan sebatang rokok atau sebungkus makanan bisa
melancarkan niatnya. Arogansi dimana-mana membawa nama partai masing-masing
dengan nilai-nilai yang dianggap sebagai idealismenya. Tapi jika dipersatukan
dalam suatu wadah tak pernah ada titik temu. Alasannya forum tak berguna karna
kita tak tahu akar masalahnya. Perbedaan prinsip juga selalu jadi alasan. Tak
maukah mencoba sedikit membuka hati dan melapangkan pikiran dari segala ego
diri jika memang tujuannya untuk kebaikan bersama
Lelah. Memang melelahkan menjadi
orang licik. Memutar otak untuk mengatur berbagai strategi menjatuhkan lawan
namun dengan langkah mulus hingga tak dianggap sebagai sebuah serangan atau
balasan. Kenapa jika tak suka langsung saja ke depan jangan jadi pecundang di
belakang.
Rasanya sudah cukup diriku
terjebak dalam situasi tak menentu semacam ini. Aku tahu duniaku, realitaku,
dan karirku akan selalu dekat dengan proses politik. Entah bertemu golongan
hitam dengan segala kelicikan dan kebobrokannya atau golongan putih dengan
segudang idealismenya. Pasti semua fase itu kan kulalui.
Tapi aku hanya ingin rehat
sebentar. Menenangkan pikirku dari segala kemunafikan ini. Menjadi diri yang apa
adanya. Menjadi manusia biasa yang menjalani hari dengan tenang. Tak ada lagi
pikiran buruk tentang berbagai hal di sekeliling. Ingin mencoba lebih
mensyukuri keadaan.
Duniaku ini, kampusku, telah
membuat sosok pragmatis dan licik dalam diriku dan aku menyadarinya. Namun aku
tak pernah bisa menghindar karna mereka begitu dekat dan mengikat. Jika di Tugu
Soekarno, selalu diagungkan slogan besar kampus “ITB adalah tempat bertanya
yang selalu ada jawabnya” maka bisakah ada jawab untuk menghancurkan berbagai
segala praktik kebusukan ini.
Lalu aku hanya diam. Menjadi
pasif. Karna aku kini hanya ada pada fase yang sedang menunggu jawab.
Tapi satu hal yang kutanamkan.
Jika suatu saat aku kan melangkah pergi dari kampus ini. Aku telah kembali
bersama idealismeku tuk terjun menghadapi proses menyentuh realitaku.
Jika menjadi putih susah mungkin
ada kalanya bertindak menjadi abu-abu. Tak mau terjerumus namun tak lagi bisa
kembali ke putih hanya tahu mana yang benar dan salah tapi tak bisa bertindak.
Daripada di akhir hayat diri ini telah hitam legam. Ini bukan bentuk
oprortunisme. Hanya ketakutanku yang tak mau terjebak dalam golongan hitam.
Komentar
Posting Komentar