TITIK BALIK
Pernahkah kamu bertanya tentang
apa yang kamu yakini?
Pernahkah kamu meragukan apa yang
kamu imani?
Ada suatu masa saya bertanya
tentang siapa Tuhan sebenarnya, bagaimana bisa Tuhan disebut Esa ketika manusia
bahkan mengenal Tuhan dengan berbagai macam keyakinan yang berbeda
Lalu, apakah agama sebenarnya?
Bagaimana agama tercipta di muka bumi?
Mengapa manusia harus dikotakkan
dalam agama, ras dan suku yang berbeda sementara itu hanya menimbulkan
perbedaan paham, perselisihan hingga konflik yang tak henti
Bukankah Tuhan mencintai
kedamaian?
Saya berupaya mencari jawaban
atas setiap kegundahan
Namun, ternyata jawaban itu tidak
didapatkan dari pemikiran orang lain
Tapi, justru ditemukan dalam hati
kecil saya
Ketika saya merasa sangat hampa,
benar-benar jauh dari Tuhan hingga hidup hanya penuh dengan kekhawatiran justru
saya menemukan momen indah mengenal hal baru dalam hidup saya
Lalu, saya menyadari bahwa itulah
titik balik dalam hidup saya
Ketika saya telah berjalan selama
22 tahun di suatu jalan yang saya yakini, tapi kemudian saya ingin mengubah
arah dan memilih jalan lain hingga menimbulkan berbagai gejolak dalam diri saya
Pernahkah kalian merasakan hal
yang sama?
Kapan terakhir kali atau bahkan
pernahkah kalian berani mencoba mengambil suatu keputusan besar dalam hidup
sesuai dengan hati nurani? Meskipun pada akhirnya akan banyak pertentangan dari
lingkungan di sekitar kalian, beranikah kalian menghadapinya?
Ya, saya pernah melakukannya
Keputusan besar yang membuat saya
untuk mengubah jalan saya karena saya merasakan ada kedamaian yang menyentuh
hati saya ketika saya memutuskan untuk mengambil keputusan tersebut
Walaupun banyak orang-orang
terdekat menentang, namun saya meyakini bahwa inilah yang saya butuhkan
Jawaban dari setiap pertanyaan
tentang keraguan akan Tuhan dalam diri saya
Dan beginilah cerita saya
Bangsa kita selalu menyerukan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan rasanya semboyan tersebut begitu lekat dalam
kehidupan keluarga saya. Saya terlahir dari keluarga yang memiliki latar
belakang keyakinan berbeda. Papa tumbuh di lingkungan keluarga Islam dan mama
tumbuh di lingkungan keluarga Kristen Protestan. Sejak kecil saya tumbuh dekat
dengan keluarga Mama sehingga membuat saya tumbuh sebagai seorang Kristen
Protestan. Salah satu memori masa kecil yang selalu saya ingat adalah di saat
duduk di bangku TK, saya telah diajarkan oleh dua agama. Pada hari senin-jumat
saya menjalani kegiatan beribadah agama Islam sebab TK saya merupakan salah
satu yayasan Islam, kemudian pada hari Minggu saya mengikuti kegiatan sekolah
minggu bersama sepupu-sepupu saya.
Namun, ada suatu masa di saat
saya berkuliah, saya pernah merasa jatuh sejatuh-jatuhnya, menghadapi berbagai
masalah tak kunjung usai di dalam hidup, bahkan rasanya ingin menyerah dengan
keadaan hingga akhirnya memilih menjauh dari Tuhan karena merasa semua yang
saya dapatkan tidak adil. Lalu, kehidupan rohani saya menjadi makin hampa.
Hidup saya jalani seperti biasa akan tetapi saya tidak pernah merasakan damai
di dalam hati saya. Hingga pada suatu titik, saya bertanya kepada diri sendiri,
jadi sebenarnya siapakah Tuhan? Mengapa orang tua dan keluarga saya dikotakkan
dalam keyakinan yang berbeda? Apakah agama memang dari Tuhan ataukah semua
buatan manusia yang mencoba menggambarkan Tuhan sesuai dengan keyakinan
masing-masing?
Begitu banyak keraguan akan Tuhan
bergejolak dalam diri saya. Saya berusaha mencari jawaban melalui diskusi dan
membaca berbagai buku dan artikel, namun saya tidak mendapatkan jawaban yang
bisa benar-benar memuaskan saya. Ada suatu momen yang hingga kini saya ingat,
yaitu ketika saya melihat adik saya kesulitan mengerjakan PR mengenai pelajaran
agama Islam dan dia bingung untuk berdiskusi dengan salah satu anggota
keluarga. Sebab saya menyadari bahwa keluarga saya memang tidak memiliki
landasan ilmu agama yang cukup baik. Dari situ, saya sadar bahwa memang susah
berjalan bersama apabila kita tidak berada dalam satu perahu yang sama. Belajar
dari cerita tersebut, saya mencoba untuk mempelajari agama Islam dengan tujuan
untuk membantu adik saya meskipun saat itu saya belum memiliki keinginan untuk
berpindah agama.
Lalu pada suatu waktu, saya ikut
dalam sebuah acara pengajian keluarga pacar saya. Saat mendengar Pak Ustadz
melafalkan bacaan Al-Quran, hati saya sangat bergetar dan ingin menangis. Saya
merasakan kedamaian yang sangat dalam ketika mendengar lantunan ayat tersebut
meskipun saya tidak memahami artinya. Disitu saya merasa bahwa ketika Tuhan
ingin menyentuh hati saya, meskipun sekeras apapun hati kita maka Tuhan bisa
membalikkan keadaan hanya sedetik kemudian. Melalui momen tersebut, secara
diam-diam saya mulai mencari artikel mengenai kisah orang-orang yang memilih
untuk mualaf, cara membaca kalimat syahadat, dan mulai belajar menjalankan
ibadah sholat serta mempelajari bacaan pada waktu sholat. Butuh waktu lama bagi
saya untuk memberanikan diri menceritakan hal tersebut kepada orang terdekat
seperti kepada ke keluarga, pacar dan sahabat saya. Namun, saya merasa bahwa
saya harus terbuka apabila memang saya ingin serius belajar mengenai Islam. Akhirnya,
saya mulai memberanikan diri bercerita kepada pacar dan karena kebetulan dia
beragama Islam maka dia sangat senang ketika saya menyampaikan keinginan untuk
belajar mengenal Islam. Kemudian, saya pun mulai bercerita ke beberapa sahabat
dekat dan meminta pertimbangan mereka bagaimana saya dapat menjadi seorang
mualaf.
Seorang sahabat menyarankan agar
saya dapat berkonsultasi dengan pengurus Masjid Salman ITB. Lalu, dia
mengenalkan saya kepada mentornya yang ternyata merupakan istri dari seorang
senior kampus kami dan dari pertemuan dengannya maka saya diajak untuk
berdiskusi dengan pengurus Masjid Salman mengenai keinginan saya untuk menjadi
mualaf. Mungkin apabila memang sudah menjadi tujuan, maka entah mengapa
keyakinan itu terasa sangat kuat di dalam hati. Setelah saya berdiskusi
mengenai keinginan saya berpindah menjadi Muslim, maka sehari kemudian saya
membaca kalimat syahadat di Masjid Salman ITB tepat di hari ulang tahun saya ke
22 dan dihadapan kedua orang terdekat saya.
Langkah selanjutnya yang harus
saya lakukan adalah bagaimana menjelaskan keputusan yang telah saya ambil
kepada orang tua, terutama mama. Beliau adalah orang yang sangat saya hormati
dan sayangi akan tetapi saya justru membuat Beliau kecewa dan sedih dengan
pilihan saya. Tapi saya berusaha untuk menjelaskan dengan baik alasan saya
memutuskan pindah agama. Saat saya mencoba berterus terang kepada mama, saya
menyadari Beliau sangat kaget dan kecewa, namun pada akhirnya Beliau
menyerahkan semua keputusan tersebut kepada saya karena menyadari saya sudah
dewasa. Saya juga menjelaskan kepada mama bahwa apapun agama yang saya anut,
tidak akan mengubah secuilpun perasaan cinta dan hormat saya kepada mama.
Bahkan hingga saat ini, kami selalu mendukung satu sama lain. Saya selalu
menanyakan apakah mama sudah pergi ke gereja di hari Minggu dan Beliau selalu
mengingatkan saya untuk tidak lupa menjalankan sholat lima waktu. Rasanya
ternyata indah sekali tetap hidup berdampingan di tengah perbedaan keluarga
kami.
Semenjak saya memutuskan
berpindah menjadi Muslim, saya merasakan banyak perubahan terjadi dalam
keluarga saya. Saat saya menceritakan kepada Papa tentang hal tersebut, Papa
sangat bersyukur dan mulai menjalankan ibadah sholat 5 waktu dengan rajin serta
mengikuti kegiatan pengajian. Adik lelaki saya juga bergabung dalam kegiatan
TPA dan kini tiap hari dia selalu rajin datang ke masjid saat adzan
berkumandang untuk menjalankan ibadah sholat disana. Alhamdulillah skenario
Tuhan memang selalu menjadi hal terindah dalam hidup ini.
Meskipun di awal perubahan agama
saya bukanlah hal yang mudah. Saya mendapatkan pertentangan dari keluarga
besar. Namun, seiring berjalan waktu mereka mencoba menerima keadaan saya. Hal
terberat yang saya jalani dari menjadi mualaf adalah kurangnya keberanian untuk
membuka diri kepada lingkungan pertemanan dan pekerjaan mengenai identitas saya
sebagai seorang Muslim. Hal tersebut membuat saya enggan untuk menjalankan
ibadah sholat di kantor ataupun diantara teman-teman, namun saya sadar bahwa
pada akhirnya saya tidak dapat menyembunyikan hal tersebut. Apalagi itu bukan
suatu hal yang buruk dan justru menghambat keinginan saya untuk beribadah
dengan tenang. Maka ketika saya mencoba mulai membuka diri untuk menjalankan
sholat di tempat kerja atau ketika sedang bersama teman-teman, saya justru
mendapati tanggapan sangat positif dari mereka yang mendukung saya. Saya sadar
bahwa setiap keputusan yang kita ambil dapat menimbulkan pro dan kontra bagi
orang lain. Namun, ketika kita telah berkomitmen untuk menjalani setiap
keputusan tersebut maka tidak ada jalan untuk berputar kembali sehingga harus
siap menerima konsekuensi dari hal tersebut entah baik atau buruk. Mungkin
tidak semua orang setuju dan memahami setiap keputusan saya, tapi bagi saya
setiap keputusan yang telah saya ambil merupakan skenario terbaik Tuhan atas
hidup saya hingga saya bisa berada pada fase saat ini.
Komentar
Posting Komentar