Peran Pemerintah : Membuat Regulasi vs Menyejahterakan Masyarakat
Akhir-akhir ini,
berbagai media televisi nasional dan media sosial sedang marak menyiarkan
berbagai kehebohan yang terjadi di negara kita, mulai dari daging sapi yang
langka, kurs dollar Amerika yang terus melambung, maupun upaya penggusuran yang
sedang gencar dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sebagai seorang
pengamat yang tidak ikut merasakan dampak dari kondisi tersebut, namun
seringkali justru terbawa suasana dengan kondisi tersebut, saya tertarik untuk
menulis mengenai berbagai kontemplasi yang saya alami.
Apabila melihat
berbagai peristiwa yang terjadi di atas, salah satunya mengenai penggusuran permukiman
Kampung Pulo yang berada di Bantaran Sungai Ciliwung, maka saya melihat dua
pihak utama yang sedang beradu, pemerintah vs masyarakat. Mengapa saya bilang
beradu? Karena saat ini mereka sedang memiliki preferensi yang berbeda dan
bertahan dengan arogansi keinginan masing-masing. Pemerintah ingin menggusur
masyarakat yang melakukan pelanggaran dengan membangun permukiman di daerah
sempadan sungai. Namun, masyarakat ingin tetap mempertahankan hak mereka
mendapatkan papan yang layak.
Apabila saya
mengamati sudut pandang pemerintah, maka ada dua peran pemerintah disini, yaitu
mebuat kebijakan/ regulasi dan menyejahterakan masyarakat. Dalam konteks
pembuatan dan penerapan regulasi, pemerintah telah hal yang sangat tepat. Sebab
pemerintah telah menunaikan kewajibannya dalam menegakkan peraturan untuk
mengembalikan fungsi sempadan sungai sebagai kawasan lindung. Apabila alih
fungsi sempadan sungai sebagai kawasan permukiman terus dibiarkan, maka banjir
di Jakarta juga tak akan pernah bisa diminimalisasi.
Namun, saat saya
mengamati dari sudut pandang masyarakat Kampung Pulo. Saya juga melihat hak
mereka sebagai warga kota yang membutuhkan kesejahteraan. Siapa yang
berkewajiban menyejahterakan masyarakat tersebut? Ya, pemerintah pastinya.
Mengapa saya berani mengatakan demikian? Karena pemimpinnya dipilih oleh rakyat
dan membawa amanah atau aspirasi dari rakyat. Sudah seharusnya pemimpin itu
menjaga amanah yang diemban. Alasan lain, karena pemerintah adalah decision maker dari suatu wilayah
sehingga kehidupan masyarakat yang tinggal di dalamnya ada di tangan penguasa
dan kesejahteraan rakyat sudah sepantasnya dipertimbangkan secara penting dalam
pengambilan keputusan/ kebijakan. Lalu, dengan melihat realita yang terjadi
pada kasus penggusuran tersebut? Apakah pemerintah sudah menjalankan peran
untuk menyejahterakan masyarakat? Saya pikir belum. Atau mungkin sudah namun
tidak memberikan hasil yang signifikan.
Secara fisik,
memang pemerintah memberikan bentuk ganti rugi tempat tinggal bagi masyarakat
yang terkena penggusuran. Namun apakah tempat tinggal yang disediakan
pemerintah sudah memberikan kesejahteraan bagi masyarakat itu sendiri? Berdasarkan
pembelajaran yang saya dapatkan di keilmuan, Perencanaan Wilayah dan Kota,
dalam menata suatu kota, pemerintah membutuhkan “rasa”, yaitu kondisi dimana
pemimpin bisa merasakan dengan sungguh-sungguh apa yang dialami oleh warganya
dan mengupayakan solusi yang terbaik. Solusi terbaik ini dapat dihasilkan
apabila penataan dapat meciptakan berbagai movement
yang efektif sesuai dengan
preferensi mayoritas sehingga terwujud kepuasan atau kebahagiaan.
Nah, inilah yang
seharusnya menjadi poin penting dalam upaya penegakan regulasi pemerintah di
suatu kota , yaitu bagaimana aturan ditegakkan tanpa mengorbankan kesejahteraan
masyarakat. Bagaimana kita tahu kesejahteraan masyarakat tidak dikorbankan? Saat
masyarakat ini dapat menerima aturan dari pemerintah dan mau mengikuti aturan
tersebut. Apabila aturan sudah ditegakkan, namun mereka justru menunjukkan
sikap protes, berarti ada hak atas kesejahteraan yang diganggu. Hal tersebut
menimbulkan tanda tanya bagi saya, apakah penegakan aturan oleh pemerintah
selalu berujung pada kesejahteraan masyarakat yang dikorbankan? Ataukah
sebenarnya semua dapat berjalan secara seimbang tanpa perlu diadu mana yang
harus dimenangkan? Kasus serupa bukan hanya terjadi pada warga Kampung Pulo,
namun juga banyak terjadi di daerah lain dalam berbagai bentuk, misalnya
penertiban PKL yang selalu menimbulkan protes di berbagai daerah.
Namun,
sebenarnya kita juga tidak bisa menyalahkan pemerintah terus-menerus karena
aturan ditegakkan atas dasar terjadinya pelanggaran dan masyarakat disini
berkontribusi menimbulkan pelanggaran tersebut. Artinya, ada “kultur” yang
salah pula dengan masyarakat kita sebenarnya dan harus dibenahi. Jika
pemerintah sudah berusaha untuk menegakkan aturan, tapi masyarakat masih terus
melakukan pelanggaran sama saja melakukan kesia-siaan secara berulang. Oleh
karena itu, pemerintah dan masyarakat sebagai insan yang beradab butuh untuk
bercermin dengan kondisi masing-masing dan tidak saling menyalahkan.
Komentar
Posting Komentar