FAKIR MISKIN DAN ANAK-ANAK TERLANTAR DIPELIHARA OLEH NEGARA: ANTARA IDEALISME DAN REALITA





“Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 34 Ayat (1)



Ketika melihat kutipan salah satu ayat dalam Undang-Undang RI Tahun 1945, saya mulai merenungi makna penulisan kalimat tersebut. Lalu, bagaimana realisasi yang ada di Indonesia saat ini?

Saya mulai kembali pada ingatan-ingatan sederhana yang saya temui setiap hari di dalam perjalanan berangkat dan pulang kerja. Pemandangan tentang seorang pengemis perempuan yang selalu meminta belas kasihan para pembeli di alfamart Kebon Kacang. Seorang bapak tua yang setiap hari selalu berkeliling menawarkan buku anak-anak di trotoar jalan dekat Pusat Perbelanjaaan Sarinah. Bapak lanjut usia yang harus terus mendorong gerobak di ruas Jalan Sudirman demi mencari sedikit makan bagi keluarganya ataupun seorang kakek kurus kecil yang hingga malam masih terduduk di trotoar dekat pusat perbelanjaan Grand Indonesia untuk mendapatkan uang dari menjual kacang dan telur puyuh. Anak-anak jalanan yang terpaksa berkeliling meminta sedikit belas kasihan para pengendara mobil di perempatan jalan melalui nyanyian ataupun tisu, makanan dan bunga yang mereka tawarkan. Ya, mereka memang sangat terbatas secara finansial. Mereka hanya menggambarkan sebagian potongan kecil persebaran masyarakat miskin di negeri ini. Masih banyak di negeri ini orang senasib sepenanggungan atau bahkan lebih menderita dibanding mereka.

Apakah ini salah mereka yang bodoh sehingga tidak bisa mengenyam pendidikan tinggi untuk mendapatkan pekerjaan layak? Ataukah ini salah orang tua yang telah melahirkan mereka dalam himpitan kemiskinan sehingga bermimpi untuk mendapatkan pendidikan saja tak mampu?  Atau inikah yang telah disebut sebagai suratan takdir mereka sehingga tak perlu berjuang demi hidup dan membiarkan waktu merenggut raga mereka satu persatu? Bukankah mereka sama dengan masyarakat Indonesia lain yang berada dalam gedung-gedung tinggi di kawasan SCBD atau Thamrin, yang berada dalam kesesakan bus kota ataupun kelegaan mobil sedan keluaran terbaru yang baru saja dibeli, yang berada dalam warung-warung pinggir jalan ataupun rumah makan mewah di kawasan pusat perbelanjaan mewah. Bentuk kebijakan seperti apa yang telah dilakukan pemerintah untuk membantu meningkatkan taraf hidup mereka?

Kembali pada kutipan di awal cerita, saya mulai bertanya, sudah sampai mana peran negara untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar? Bentuk pemeliharaan apa yang diberikan? Kita tidak bisa terus menyalahkan pemerintah tentang kebijakan mereka yang tidak sesuai dalam memelihara fakir miskin dan anak terlantar atau tentang penghamburan anggaran negara yang digunakan untuk menunjang berbagai fasilitas bagi para pejabat pemerintah.

Bisa saja memang mereka telah berupaya melakukan tugas dengan membuat sistem kebijakan yang sangat baik. Tapi mungkin implementasinya saja yang tidak benar. Bukannya memang begitu kan praktik kebijakan di Indonesia selalu saja menyalahkan implementasi. Kritik pedas yang kita berikan juga tidak akan ada maknanya apabila memang mental para oknum pejabat telah bobrok. Apakah dengan perjuangan kata-kata yang kita sorakkan secara masal di depan gedung MPR/DPR, Istana Negara, kantor walikota/bupati ataupun kantor kementerian/lembaga mampu membawa perubahan? Mungkin iya, tapi saya pikir lebih banyak kesia-siaan yang ditimbulkan.
Lalu apa yang harusnya dilakukan?

Oke, saya memulai jawaban saya dari sebuah definisi, yaitu definisi negara. Menurut John Locke(1632-1704) dan Rousseau(1712-1778), negara adalah suatu badan atau organisasi hasil dari pada perjanjian masyarakat. Sementara itu, Menurut Max Weber, negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah. Kemudia Roger F. Soleau berpendapat bahwa negara merupakan alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama yang diatasnamakan masyarakat. Dari penjelasan ketiga ahli, terdapat sebuah kata yang harus digarisbawahi, yaitu masyarakat. Jadi, kesimpulannya bahwa negara itu bukan hanya pemerintah saja, namun kita, masyarakat yang tinggal di dalam wilayahnya juga termasuk bagian dari negara. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Mac Iver, bahwa suatu negara harus mempunyai tiga unsur pokok, yaitu wilayah, rakyat dan pemerintahan. Oleh karena itu, memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga kita sebagai masyarakat dan sesama manusia.

Bukankah Tuhan juga menciptakan manusia sebagai mahluk sosial? Mahluk yang tidak dapat hidup sendiri namun harus saling membantu satu sama lain untuk bertahan.  Ketika mereka yang terperosok jatuh berteriak kepada kita yang sedang berjalan dengan lincah, akankah ada yang turun untuk membantu mereka berdiri? Ataukah kita terus saja sibuk dengan gadget tercanggih kita saat ini? Pernahkah kita sejenak melihat kondisi di sekeliling kita? Mereka yang bahkan tidak tahu akan makan apa hari ini, tapi kita sudah berpikir dengan banyak rencana untuk menghamburkan uang berlibur di berbagai penjuru negeri atau belahan dunia lain maupun sekedar memborong berbagai item  barang yang sedang diskon di mall.

Kita memang tidak pernah bisa merasakan sebuah cerita, saat kita tidak mengalaminya langsung. Namun, apakah butuh Tuhan membolak-balikkan keadaan dan membuat mereka yang berkecukupan bahkan bergelimang finansial terperosok sehingga mereka dapat peduli dengan kondisi sesamanya yang berkekurangan?

Terakhir, saya kirimkan pesan khusus untuk generasi-generasi muda, termasuk bagi diri saya, seberapa besar kita mengukur kontribusi yang telah kita lakukan untuk negara? Mungkin ada yang pernah melanglangbuana berkeliling ke pelosok-pelosok Indonesia untuk membantu masyarakat bangun dari keterpurukan mereka. Ataupun mewakili Indonesia sebagai duta-duta kegiatan internasional dan nasional. Namun, masih ingatkah kita dengan kondisi terdekat kita yang ternyata masih membutuhkan bantuan?

“Jangan pernah membatasi diri untuk berkontribusi bagi sesama, karena memang sudah kewajiban kita sebagai bagian dari negara untuk berbagi dengan yang membutuhkan.”



Jakarta, 19 Mei 2016
Kontemplasi di tengah kelengangan kerja dunia pemerintahan


Valentina

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEMAHASISWAAN ITB DI MATA NYOMAN ANJANI: SANG PEMIMPIN PERGERAKAN MAHASISWA ITB

YAKIN BERHIJAB?

PENGORBANAN SELALU MEMBUTUHKAN HARGA