Menjadi Seorang Pemimpin Wanita
Pengalaman akan suatu kegagalan mendapatkan amanah menjadi seorang pemimpin menjadi suatu anugrah sehingga dapat menorehkan suatu pemikiran melalui tulisan ini. Mencoba memberikan semangat bagi kalian para perempuan yang bercita-cita menjadi pemimpin bagi negeri ini kelak seperti saya.
Sosok pemimpin wanita pertama
bagi saya yang sangat berkesan adalah seorang gadis Jawa anggun nan manis
kelahiran Jepara. Beliau adalah Raden Ajeng Kartini. Meskipun meninggal di usia
yang masih sangat muda, 25 tahun, namun jasa beliau sungguh sangat besar
memberikan pengaruh bagi peradaban keberadaan kaum perempuan di Indonesia.
Bagi saya, cita-cita dan harapan
besar beliau untuk memberikan pendidikan bagi kaum perempuan sungguhlah suatu
pemikiran besar seorang gadis yang baru berusia belasan tahun, dapat dikatakan
baru memasuki tahap remaja. Berbeda sekali dengan kondisi sekarang. Miris
sekali melihat fenomena kehidupan remaja saat ini yang menurut saya sangat
terpengaruh dengan perkembangan teknologi, dan yang paling utama adalah
eksistensi media sosial.
Media maya ini meskipun juga
dapat digunakan secara positif tapi saat ini saya rasa sudah banyak mengalami
degradasi fungsi. Gadis remaja justru lebih suka mengungkapkan perasaan galau
atau mengalami syndrom narsisme dengan mengunggah banyak foto-foto pribadi,
yang terkadang banyak foto yang terlalu memperlihatkan aurat.
Mungkin bukan ranah saya untuk
menceramahi mereka karena saya juga belum tentu dapat menjadi teladan yang
lebih baik. Tapi sangat disayangkan, perilaku remaja tersebut justru membawa
mereka kepada kehidupan “dewasa sebelum waktunya dalam segi perasaan” dan
mendapatkan informasi mengenai hal-hal yang seharusnya belum menjadi bahasan
kehidupan mereka. Selain itu, juga dapat membawa dampak buruk , seperti maraknya
kasus penipuan pelecehan seksual yang dilakukan pada para remaja oleh
oknum-oknum tak bermoral karena perkenalan melalui media sosial. Hal tersebut
sebenarnya dapat dihindari melalui pengawasan dari keluarga. Mengawasi bukan
berarti bersikap terlalu protektif karena hal tersebut justru akan mendapatkan
perlawanan. Namun berikan ruang bagi mereka untuk berekspresi dan menemukan
eksistensi diri tapi tetap dapat dipertanggungjawabkan dan memperhatikan etika.
Itu sedikit cerita tentang
kondisi remaja yang tumbuh besar pada era reformasi. Lalu apakah perbedaan era
masa pertumbuhan seorang gadis menjadi sosok wanita dewasa akan mempengaruhi
kemampuannya menjadi seorang pemimpin?
Ya, era pertumbuhan seorang perempuan akan sangat dipengaruhi
perkembangan zaman dan keberadaan lingkungan sekitarnya.
Seperti Kartini yang tumbuh pada
era 1800an dimana kehidupan gadis-gadis Jawa sangat dikekang dan hanya dapat
melanjutkan pendidikan hingga tamat Sekolah Dasar. Setelah itu, kemudian
diarahkan untuk menikah dan menjalani kehidupan sebagai seorang ibu rumah
tangga. Berlatarbelakangkan keterbatasan hidupnya sebagai seorang perempuan
pada zaman itu, Kartini berusaha melakukan gebrakan bagi kaum perempuan untuk
mendapatkan persamaan hak menuntut pendidikan seperti kaum laki-laki.
Bagi saya, Kartini telah menjadi
sosok seorang pemimpin di zamannya. Beliau telah berusaha menjadi pemimpin
pergerakan bagi kaum wanita untuk memiliki pemikiran dan pendidikan yang maju
layaknya kaum lelaki. Dan dampaknya, dapat kita lihat sekarang banyak kaum
perempuan yang dapat menduduki jabatan seorang pemimpin di bidang
masing-masing. Sebut saja, anak proklamator Bangsa Indonesia, Ibu Megawati
Soekarno Putri, yang pernah menjabat sebagai presiden ke 5 Republik ini. Lalu,
ada ibu Marie Elka Pangestu yang mampu menjadi panutan dalam memimpin bidang
perdagangan negeri ini. Kemudian ada sosok ibu Sri Mulyani, ibu Nafsah Mboi,
ataupun Ibu Risma yang sedang hangat dibicarakan sekarang sebagai sosok
pemimpin tangguh yang berjuang mati-matian untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyatnya di Surabaya. Masih banyak lagi sosok pemimpin wanita pada era modern
seperti sekarang yang telah berhasil meningkatkan kesejahteraan Indonesia yang
tak dapat saya sebut satu-satu. Mereka kini telah memasuki tahap akhir masa kepemimpinan
mereka dan akan segera mengalami regenerasi. Lalu, bagaimana kondisi pemimpin
perempuan negeri ini di masa depan?
Saya merasa bahwa
mahasiswi-mahasiswi sekarang dapat menjadi bakal calon yang memimpin bangsa
ini. Namun, mahasiswi seperti apakah yang mampu bertahan pada akhirnya nanti
menjadi seorang pemimpin yang tangguh. Bagi saya, mereka yang memiliki semangat
juang, impian, niat dan selalu memacu diri untuk berkembang adalah yang akan
mampu memimpin. Saya tak senang men”judge”
seseorang hanya karena penampilannya yang feminim dan lemah lembut sehingga
ia tak mampu menjadi pemimpin handal di masa depan. Kepemimpinan bukanlah hal
utama mengenai penampilan fisik tapi karakter dari seorang pribadi.
Pernah seorang berkata kepada
saya suatu kala ketika saya memutuskan untuk mengambil kesempatan menjadi
seorang calon pemimpin, “Jadilah diri
kamu sendiri bagaimanapun kamu tampil seperti biasanya, itulah yang justru
membuat orang mampu melihat sosokmu dan kamu akan merasa lebih nyaman tanpa
perlu memakai topeng.” Mungkin kata-kata yang terdengar sederhana, tapi
bagi saya pribadi begitu dalam maknanya. Karena seringkali adanya paradigma
dari sekitarnya bahwa pemimpin perempuan haruslah sosok yang tangguh, keras,
tidak cengeng dan sebagainya. Menurut saya, paradigma tersebut harus
dihapuskan. Jiwa kepemimpinan dalam diri setiap orang terbentuk melalui proses
yang berbeda. Terlebih bagi mayoritas perempuan, yang mendapatkan anugrah
spesial memiliki sifat yang lebih didominasi oleh perasaannya. Hal tersebut bagi
saya menjadi sebuah karunia spesial dan perbedaan spesifik dengan pemimpin
laki-laki. Meskipun dapat menjadi kelemahan juga apabila perasaan tersebut
tidak dapat dikendalikan.
“Terkadang masyarakat ini jenuh dengan pemimpin yang hanya menggunakan logika untuk mencari solusi, tapi tak mampu berempati atas kehidupan rakyatnya. Rakyat juga butuh pemimpin yang dekat dengan mereka, yang mampu merasakan penderitaan dan kesusahan serta memahami perasaan mereka. Karna tak semua hal dapat diselesaikan langsung dengan logika semata, tapi sentuhlah dan lihatlah dalam hati nurani.”
Komentar
Posting Komentar