BERKEHENDAK PADA SATU HAL YANG SAMA

Tulisan ini saya dedikasikan untuk pasangan saya, Choirul Rama Saputra (Irul), sebagai bentuk dukungan dan apresiasi saya terhadap setiap perjuangannya dalam mengejar pendidikan master.

Melanjutkan pendidikan S2 mungkin sudah menjadi hal yang wajar bagi generasi muda saat ini di tengah persaingan kerja yang semakin ketat. Lulusan S1 sudah kian menjamur dimana-mana sehingga aktualisasi diri tidaklah cukup hanya dengan berharap pada pendidikan S1. Terlebih bagi yang ingin mendapatkan promosi karir yang cemerlang, seperti di dunia pemerintahan yang saya dan suami jalani, S2 menjadi salah satu syarat utama untuk bisa mendapatkan kenaikan jabatan.

Tapi bagi kami, S2 bukan hanya sebuah kunci untuk mencapai kemapanan karir. Namun, juga mengenai mimpi untuk belajar dan mendapatkan pengalaman hidup lebih banyak lagi, apalagi dengan menjalani S2 di luar negeri. Kami ingin merasakan bagaimana sebagai pasangan muda yang sedang menikmati tahun pertama pernikahan, kami berjuang di negeri orang (UK), beradaptasi dengan berbagai kultur baru disana, serta keluar dari segala zona nyaman kami di Indonesia. Hal tersebut telah menjadi tujuan yang ingin kami capai semenjak kami berpacaran.
Namun, kita memang tak pernah bisa menduga apa yang menjadi kehendak Tuhan. Di saat beasiswa dan LoA sudah didapatkan, ternyata Irul justru tidak dapat berangkat karena sedang menjalani pendidikan calon PNS di Kementerian PUPR. Padahal proses untuk mendapatkan beasiswa dan LoA bukan sebuah perkara mudah.

Saya masih ingat betul perjuangan awalnya untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri sejak kami menjalani masa pacaran di tahun kedua. Suatu kali pada saat kami masih menjadi mahasiswa tingkat 4 di awal tahun 2015, dia bercerita mengenai mimpinya untuk kuliah di UK dan ternyata hal tersebut sama dengan cita-cita saya. Kemudian dia mengajak saya untuk mengikuti bimbingan IELTS di IDP. Namun karena kendala finansial saya saat itu, saya memutuskan belum dapat bergabung. Akhirnya dia menjalani 10 hari bimbingan di IDP yang dilanjutkan dengan tes IELTS.

Untuk percobaan pertama, nilai IELTS yang didapat belum mencukupi untuk mendaftar di universitas yang diinginkan. Semangat untuk mengejar S2 yang begitu tinggi, membuatnya mencoba melakukan tes kembali pada awal tahun 2016 dan alhamdulillah dia berhasil mendapatkan nilai IELTS sesuai dengan syarat minimum pendaftaran universitasnya. Berbekal nilai IELTS yang mepet, dia mencoba untuk mendaftar ke universitas yang dia impikan selama ini. Selang beberapa lama kemudian, kabar menggembirakan berikutnya datang. Dia mendapatkan LoA unconditional dari Imperial College London (ICL) di jurusan structural engineering. Edan! Itulah yang saya katakan padanya. Ternyata pasangan saya punya otak seencer itu dan sekeren itu sampai bisa diterima disana.

Tapi masalah tiba saat dia harus memulai perkuliahan pada akhir tahun 2016, namun dia belum memiliki beasiswa. Berbagai upaya untuk memperoleh beasiswa dan mencoba melakukan penundaan kuliah dia lakukan. Puji syukur ICL menerimanya untuk defer kuliah ke tahun 2017.
Pada akhir tahun 2016, dia pun mencoba mendaftar beasiswa Chevening (beasiswa sangat bergengsi yang diberikan oleh Pemerintah Inggris kepada orang-orang yang ingin melanjutkan pendidikan ke UK). Edan banget! Irul berhasil mendapatkan beasiswa Chevening. Saya sudah tidak mengerti lagi antara Irul yang ambisius, cerdas, ataupun tingkat keberuntungannya yang tinggi.

Eh, ternyata jalan menuju UK yang sudah semulus itu kembali harus mengalami tanjakan naik turun. Irul tidak dapat berangkat di tahun 2017! Dia terkendala faktor kesehatan yang tidak mengizinkannya untuk mendapatkan visa belajar di UK. Namun perjuangannya tak putus sampai disitu. Saya masih ingat bagaimana dia nekat untuk mencoba mengambil second opinion untuk melakukan tes kesehatan sebagai syarat pendaftaran visa hingga nekat pergi ke Rumah Sakit Premier Surabaya. Tapi apa boleh dikata, jika Tuhan memang sudah berkehendak, maka manusia hanya bisa berserah mengikuti rencanaNya. Bukan menyerah begitu saja dengan hasil, dia coba menghubungi dan melobi pihak Imperial dan Chevening untuk melakukan defer di tahun 2018. Alhamdulillah pihak Chevening berkenan meskipun dengan sangat berat hati Irul harus menerima keputusan ICL yang menolak defernya kedua kali dan memintanya untuk mendaftar kembali untuk tahun ajaran 2018.

Kemauan yang sangat kuat untuk berangkat ke UK membuat Irul benar-benar mencoba berbagai upaya agar dapat lolos tes kesehatan. Setiap dua minggu sekali, dia melakukan check up rutin dan tak pernah sekalipun dalam sehari dia skip untuk meminum obat. Semua jadwal tersebut dikontrol dengan rapi melalui agendanya. Bahkan pernah suatu kali, saat kami sedang berbulan madu di Malang, dia lupa membawa obat dan kami pun berputar-putar di Kota Malang untuk mendapatkan obat tersebut karena setiap apotik yang kami datangi selalu mengatakan bahwa stok obat tersebut tidak ada hingga akhirnya kami menemukan satu apotik yang menyediakan stok obat yang dibutuhkan. Berkat kegigihannya untuk menjalani pengobatan selama 6 bulan, akhirnya pada awal Februari 2018, Irul berhasil mendapatkan sertifikat lolos tes kesehatan untuk pendaftaran visa. Di lain sisi, dia juga telah kembali mendaptkan LoA unconditional dari Universitas Manchester untuk jurusan structural engineering.

Namun, semua tak lagi mulus. Hidup memang adalah tentang memilih. Berawal dari adanya info pembukaan pendaftaran CPNS di akhir tahun 2017, Irul bimbang akankah dia mencoba untuk mendaftar atau menunggu pendaftaran buka kembali setelah dia selesai S2. Tapi mengingat mimpinya di masa depan menjadi Menteri PU maka dia memutuskan mendaftar dengan harapan pimpinan juga akan memberikan izin belajar di bulan September 2018 mengingat betapa prestigious beasiswa yang didapat dan Kementerian PU jadi tak perlu mengerluarkan dana untuk membiayai rencana pendidikan S2nya di masa depan.

Setelah menjalani berbagai tahapan, akhirnya selang 1 bulan pengumuman penerimaan CPNS keluar. Irul berhasil diterima jadi CPNS. Wah kalau saya melihat rekam jejaknya rasanya edan sih. Apa-apa yang diinginkan bisa didapatkan meskipun di balik itu semua memang banyak usaha keras yang ditanggung juga. Kegalauan pun melanda saat mendapatkan kabar bahwa proses perCPNSan akan berlangsung selama 1 tahun hingga Januari 2019. Padahal, di bulan September ini dia harus berangkat ke UK. Berbagai usaha untuk berangkat dilakukan. Bahkan yang paling berani menurut saya dia sampai menemui Bu Sekjen untuk menceritakan kondisinya dan meminta izin agar diperbolehkan berangkat S2. Sangat alot. Itulah yang dirasakan. Tidak mudah untuk diizinkan belajar ke luar negeri mengingat statusnya masih sebagai CPNS dan akan menyalahi aturan yang ada. Akhirnya sebagai jalan tengah, Kementerian PU melalui Bu Sekjen akan mengirimkan surat resmi kepada pihak Chevening untuk memohon penundaan pemberangkatan S2 hingga tahun 2019 menunggu masa orientasi CPNS selesai. Namun, rupanya Chevening tidak bisa menerima permohonan tersebut.

Yap, mimpi untuk S2 yang sudah berjarak 5cm dari depan mata kini seperti menjauh dan lepas. Tapi, kita masih belum mengetahui bagaimana rencana Tuhan ke depan. Akankah Tuhan dan kami akhirnya berkehendak pada satu hal yang sama? Tunggu saja jawabannya di tulisan saya nanti


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEMAHASISWAAN ITB DI MATA NYOMAN ANJANI: SANG PEMIMPIN PERGERAKAN MAHASISWA ITB

YAKIN BERHIJAB?

PENGORBANAN SELALU MEMBUTUHKAN HARGA