Idealisme “Bali Ndeso, Mbangun Ndeso” : Masihkah Berlaku di Zaman Sekarang?
Di
sebuah daerah di selatan Jawa Tengah, seorang anak menjunjung motivasi besar
melanjutkan pendidikannya di sebuah kampus ternama di Kota Kembang. Kampus yang
konon katanya menjadi cikal bakal lahirnya para pemimpin idealis bangsa. Hingga
akhirnya, suatu ketika semesta merestui kehendaknya. Sebuah status baru
tersemat dalam dirinya, status sebagai mahasiswa Ganesha.
Hanya satu angan yang
digantung dalam langit asanya, kebanggaan sebagai putra daerah yang suatu saat
dapat kembali membangun daerah asalnya. Suatu pengabdian untuk dapat
berkontribusi bagi kemajuan daerahnya. Itulah mimpi yang ingin dijaganya.
Contoh mimpi dan harapan dari seorang anak yang ingin membangun daerahnya. Akan
tetapi masihkah banyak anak-anak daerah lain memiliki mimpi yang sama untuk
daerahnya? Masihkah ada cita-cita putra daerah untuk mengabdi bagi daerahnya?
Bagi
saya, mimpi membangun daerah terlalu mahal saya dapatkan di zaman modern
seperti saat ini. Terlebih di benak para mahasiswa, persaingan AEC 2015 justru
membuat mereka semakin terfokus untuk mengejar karir yang gemilang di perusahan
multinasional maupun internasional. Ambisi akan mendapatkan kesuksesan dengan
gaji yang tinggi sehingga hidup tak akan kesusahan menjadi prestasi bagi
mereka. Maafkan jika saya mungkin terlalu skeptis menilai mahasiswa saat ini.
Saya tahu masih ada dalam benak kawan-kawan harapan untuk memajukan daerahnya.
Namun jika dibandingkan dengan seluruh mahasiswa yang ada mungkin hanya
segelintir saja.
Saat
saya sedang menjalani sebuah kerja praktik di salah satu instansi kementerian
dan bertugas melakukan bimbingan terhadap daerah-daerah yang ada di Indonesia
Timur, saya terinspirasi dengan salah seorang alumni Planologi ITB (senior
saya) angkatan 2000an yang berasal dari wilayah Sulawesi dan dia mau kembali ke
daerah asalnya untuk ikut menata daerahnya. Dengan satu motivasi yang ia tahu
bahwa daerahnya masih sangat membutuhkan ahli perencana sepertinya.
Inspirasi
yang benar-benar menggugah hati dan pikiran, saya dapatkan dari sosok seorang
wanita tangguh yang kini sedang mendapat amanah memimpin Surabaya. Beliau akrab
disapa dengan panggilan Ibu Risma. Sungguh suatu kesempatan emas di tanggal 6
Januari 2015, saya mendapat kesempatan berdiskusi dengan beliau. Bagi saya
cita-cita beliau untuk memajukan kota tempat tinggalnya sungguh sangat mahal.
Satu pesan yang menusuk nurani saya yang beliau sampaikan adalah “Karna saya
mengenal warga Surabaya yang keras, sehingga saya tahu cara mendidik masyarakat
saya untuk mencintai kotanya.” Mungkin
bagi orang lain itu hanya pidato sederhana seorang walikota, namun bagi saya
itulah karakter yang seharusnya ditunjukkan seorang pemimpin.
Seharusnya
dan memang sudah menjadi hal yang wajib bahwa pemimpin daerah berasal dari
pitra-putri daerahnya. Mengapa? Karna merekalah yang paling mengetahui masalah
di daerahnya dan karakter masyarakatnya sehingga mereaka tahu bagaimana cara
memperlakukan orang-orang di daerahnya sehingga tercipta saling percaya antara
pemimpin dan yang dipimpin. Kalau boleh saya mengutip kata-kata Bapak Presiden
kita sekarang, Pak Jokowi, beliau selalu berkata bahwa sebagai seorang
pemimpin, kita harus bisa “nguwongke
uwong” atau memperlakukan manusia layaknya kodratnya sebagai seorang
manusia.
Beberapa
hari ini saya sering berkontemplasi dengan pikiran saya sendiri, mencari tahu
siapa saja kiranya orang-orang di lingkaran saya yang telah memiliki cita-cita
untuk membangun daerahnya. Ternyata bahkan di lingkungan saya, di kampus ITB,
saya masih menemui sedikit putra-putri daerah yang ingin kembali ke daerahnya
untuk memajukannya. Bahkan di jurusan saya sendiri pun, Perencanaan Wilayah dan
Kota, tak semua calon perencana mempunyai asa yang sama untuk mengabdi bagi
daerahnya. Apalagi jurusan-jurusan lain yang memang dianggap tak memiliki
keterkaitan dengan topik untuk membangun daerah. Lalu siapa calon penerus yang
akan membangun daerahnya masing-masing?
Miris
sekali menghadapi kenyataan ini. Meskipun saya tak dapat memungkiri kenaifan
saya yang kadang tergoda untuk memiliki karir gemilang di perusahaan swasta
yang ada di kota besar atau bekerja di ranah nasional, namun sesegera saya
kembali pupuk mimpi dan tekad dalam hati saya bahwa kota saya ini masih sangat membutuhkan
ahli untuk menata kotanya. Menurut saya, kekuatan suatu bangsa Indonesia saat
ini terletak pada potensi daerah masing-masing. Terlebih dengan sistem
desentralisasi yang kita anut sekarang dimana kekuatan daerah sangat
mempengaruhi keberjalanan suatu negara. Oleh karena itu, kalau putra-putri
daerah tidak memiliki tekad untuk membangun daerahnya, sudah saja tinggal
tunggu kemunduran daerah masing-masing atau justru kemegahan daerah
masing-masing di tangan para kapitalis yang hanya meraup keuntungan. Tak kalian
pikirkan bagaimana nasib ribuan rakyat di daerah kalian yang tempat berteduh
saja tak punya, baju yang dikenakan compang-camping atau bahkan belum tentu
bisa makan sehari 3 kali?
Apalagi
tahun ini kita akan menghadapi suatu masa transisi dimana sistem ekonomi negara
kita akan sangat dipengaruhi oleh AEC. Bagaimana daerah bisa berkembang dengan
potensinya kalau putra-putrinya justru masih menggunakan egoismenya. Hanya
memikirkan nasibnya bagaimana dia bisa diterima di perusahaan multinasional
atau internasional bersaing dengan tenaga kerja lain dari luar negeri. Apakah
sekarang memang benar sudah zaman pengikisan idealisme dimana generasi muda ini
tak lagi peduli dengan daerahnya, boro-boro mau peduli bangsa dan bicara sosial
politik demi mengabdi bagi negara, melakukan hal kongkrit bagi daerah saja
tidak bisa.
Komentar
Posting Komentar