Idealisme Berkarir yang Mulai Tergoyahkan
Pandangan tentang sebuah karir di masa depanku dimulai ketika aku memasuki bangku SMP. Aku bercita-cita menjadi seorang arsitek. ITB adalah impianku di kala itu. Dan aku bersyukur ternyata Tuhan membukakan jalanku untuk menggapai cita-citaku. Meskipun aku harus mengalami banyak hambatan untuk dapat menjadi salah satu bagian mahasiswa Kampus Ganesha ini.
Akan tetapi, pandangan menjadi seorang arsitek mulai tergoyahkan setelah aku menjalani setengah semester pertama di ITB. Aku diperkenalkan dengan dunia baru yang belum pernah aku pahami sebelumnya. Yap, Planologi. Sebatas aku hanya menganggap hal itu sebagai ilmu untuk merencanakan kota. Akan tetapi, gambaran menarik yang kudapat dari seorang dosen yang "sangat menjual" menurutku membuat aku berpikir ulang tentang cita-cita awalku. Beliau memberikan pandangan baru yang lebih luas mengenai dunia Plano yang tak pernah aku tahu sebelumnya. Ternyata pola pikirku sangat berkembang dan aku dapat memiliki kepekaan lebih terhadap lingkungan sekitarku. Salah satu hal yang paling kusuka dari ilmu ini adalah mahasiswa yang dituntut untuk berpikir komprehensif dan mempertimbangkan suatu keputusan dengan melihat pandangan dari berbagai aspek. Hal ini tidak hanya berguna bagi kehidupanku di kuliah namun setiap hari pun aku merasa perlu menerapkan pola pemikiran seperti ini. Sejak saat itulah kecintaanku terhadap ilmu Planologi semakin bertambah hingga memupuskan cita-citaku menjadi seorang arsitek dan beralih menjadi seorang planner.
Alasan lain yang membuat aku jatuh hati pada Planologi adalah ilmu ini sangat membantuku untuk mewujudkan impianku membangun daerah asalku, Solo. Sejak awal aku memang telah bercita-cita untuk mengabdikan diri berkarir bagi daerah asalku setelah aku lulus kuliah dan aku melihat peluang besar apabila aku berada di jurusan ini. Terlebih aku sempat memiliki keinginan untuk memimpin kotaku ini. Itulah idealisme karir yang selalu aku pegang selama 2 tahun berada di Kampus Ganesha.
Namun, aku merasa akhir-akhir ini banyak mimpi-mimpi lain yang mulai mengganggu pemikiran awal karirku itu. Aku melihat dunia kerja yang akan kujalani nantinya dapat menghasilkan materi yang berlimpah. Terlebih aku ingat kewajibanku sebagai seorang anak pertama dan kakak bagi kedua adikku bahwa aku harus bertanggungjawab atas kebutuhan keluargaku, termasuk kebutuhan orang tuaku dan biaya sekolah ke depannya bagi adik-adikku. Ini adalah janji pribadiku terhadap mama. Aku ingin adik-adikku dapat menyelesaikan pendidikannya sama dengan yang aku dapatkan saat ini. Dan aku tahu semakin lama biaya pendidikan akan semakin mahal sehingga aku membutuhkan uang banyak untuk membantu ekonomi keluargaku. Pikiran untuk mendapatkan pekerjaan yang "sangat menghasilkan" mulai meracuni otakku. Aku tahu bahwa di Solo mungkin aku tidak akan bisa banyak berkembang terlebih apabila dulu aku berpikir ingin mengabdikan diri sebagai pegawai pemerintah daerah (meskipun yang aku inginkan jabatan yang tinggi, seperti kepala dinas). Kota-kota besar, seperti Bandung dan Jakarta akan lebih menghasilkan untuk mencari nafkah walaupun biaya hidup disana juga tidak semurah dibanding dengan kota kecilku ini. Aku menjadi ragu dengan idealisme yang selama ini aku junjung. Antara materi yang berlimpah yang kuinginkan bagi keluargaku atau tujuan muliaku untuk mengabdi sebagai putra daerah dan membangun daerahku.
Hingga saat ini aku masih merasa memegang idealisme berkarir yang telah aku bangun. Namun adakalanya suara hatiku berkata lain dan mulai menggoyahkan prinsipku itu. Semoga 2 tahun sebelum aku masuk dalam dunia pekerjaan, aku dpaat menentukan hal terbaik bagi karirku nanti. Tak lupa satu hal wajib yang tak boleh ditinggalkan adalah memohon bimbingan Tuhan dalam doa agar aku dituntun menuju jalan yang terbaik bagi karirku di masa mendatang dan dapat menjadi berkat bagi keluargaku.
Komentar
Posting Komentar