MELIHAT JAKARTA DARI DUA SISI : PENGUASA DAN MASYARAKAT



Jakarta, metropolitan yang selalu penuh dengan pergerakan dan kegiatan 24 jam setiap hari.  Pusat dari segala kepentingan berbagai pihak yang mencoba tantangan, pembelajaran dan keuntungan. Disanalah kontrol dan pengawasan terbesar terhadap Indonesia berada. Pusat keberjalanan kekuasaan petinggi-petinggi negara yang menjadi pengambil keputusan atas negara ini. Bahkan aliran uang negara ini, 90% terpusat di ibukota negara. Suatu angka yang cukup fantastis. Indonesia yang terkenal sebagai negara kepulauan dan berpuluh-puluh provinsi serta beratus-ratus kota yang tersebar di seluruh Nusantara namun kesenjangan ekonomi terasa sangat jauh antara kehidupan di metropolitan dan kota-kota lain di pelosok.

Entah apakah daya tarik Jakarta bagi banyak kaum pendatang dan investor yang mencoba peruntungan disana. Namun penulis melihat daya tarik tersebut sungguh berkontradiksi dengan kehidupan sebagian besar masyarakat Jakarta. Ekonomi yang terpusat di Jakarta belum tentu menunjukkan kesejahteraan masyarakat yang pasti tinggi pula. Mungkin perputaran uang hanya terjadi di dalam suatu sistem yang dikuasai sebagian kecil kaum kapitalus atau para  pemegang jabatan tinggi negeri ini, baik pemerintah maupun swasta.  

Gedung tinggi bertebaran di pusat kota dengan beragam fungsi sebagai apartemen, mall ataupun pusat perkantoran. Namun di belakang gedung itu, ada juga kehidupan lain yang dapat dilihat sangat berkontradiksi dengan kemewahan cover depan ibukota. 

Permukiman kumuh, kondisi sanitasi yang tidak terawat, jalanan sempit dan sungai yang airnya tak lagi jernih namun telah mengalami pendangkalan karena dipenuhi sampah dari para oknum yang tidak mencintai lingkungan tempat tinggalnya. Sehingga tak heran banjir sering melanda Jakarta. Bukan hanya karena konturnya yang memiliki ketinggian di bawah-rata permukaan air laut namun budaya masyarakat yang tidak menjaga kebersihan lingkungan. 

Budaya masyarakat yang semakin kuat mengakar akhirnya membentuk mental dan kepribadian masyarakat ibukota yang sebagian besar cenderung individualis dan tidak peduli dengan lingkungannya. Meskipun mungkin masih ada juga komunitas masyarakat yang peduli dan aktif untuk menjaga lingkungan Jakarta. Ya, itulah kondisi sisi lain Jakarta yang penulis namakan sebagai  “Jakarta Undercover”.

Saat ditanya apakah masalah Jakarta itu kesalahan dari birokrasi provinsi ini atau masyarakatnya, menurut penulis keduanya memiliki porsi salah masing-masing. Masyarakat kecil seringkali dianggap sebagai kaum lemah yang tertindas dan kebijakan pemimpin terkadang dianggap tidak berpihak pada masyarakat. 

Namun apakah hal tersebut sudah cukup objektif untuk menilai peran stakeholder yang turut serta dalam berbagai masalah kompleks di pusat negara ini. Masyarakat memang perlu dibela saat mereka benar, tapi jangan sampai pembelaan tersebut berlangsung terus sehingga menimbulkan mental ketergantungan dan membangun paradigma bahwa mereka adalah kaum tertindas dan korban dari berbagai kebijakan yang kurang tepat. Sebab masalah yang muncul di Jakarta bisa saja disebabkan oleh adanya masyarakat tersebut, misalnya jumlah kaum pendatang yang terus meningkat ataupun budaya masyarakat yang kurang menjaga lingkungan seperti yang telah penulis ungkapkan. Hal tersebut memicu timbulnya dampak yang berkelanjutan seperti meningkatnya angka pengangguran Jakarta sehingga berdampak pada peningkatan aksi kriminalitas ibukota. 

Kemudian dari segi guna lahan juga menyebabkan kepadatan yang tinggi kawasan permukiman di Jakarta. Menurut penulis Jakarta telah mencapai titik jenuhnya sehingga tidak dapat menampung kapasitas tambahan karena telah melampaui daya dukungnya (over capacity).

Apabila penulis melihat dari sisi pemerintah, sebenarnya pemerintah sudah berusaha untuk membuat kebijakan yang berusaha meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakatnya. Salah satu contohnya dalam konteks penataan ruang, Dinas Tata Ruang Pemprov DKI Jakarta telah berusaha menyiapkan rencana tata ruang yang sesuai dengan ketersediaan lahan dan dibenturkan dengan kondisi eksisting dan kebutuhan Jakarta. Proses tersebut juga bukanlah proses yang mudah dapat diselesaikan dalam satu hingga dua hari namun butuh waktu minimal 1 tahun bahkan untuk menyiapkan rencana penataan ruang Jakarta. Lalu saat dilihat pada implementasi rencana mungkin banyak perbedaan yang terjadi. Entah karena pengaruh faktor koordinasi antar stakeholder yang kurang ataupun pemberlakuan hukum yang masih lemah ataupun banyak faktor eksternal lainnya.

Akhir kata, penulis berharap bahwa ibukota yang menjadi sampul depan bagi kondisi negara ini dapat menunjukkan kualitasnya sebagai suatu pusat pemerintahan negara baik secara fisik, ekonomi, kehidupan sosial budaya dan sebagainya. Karena memang itulah yang seharusnya telah dilakukan Jakarta. Jangan sampai cover negara yang selalu menjadi sorotan negara luar justru penuh dengan caci maki karena berbagai masalah yang tak kunjung habis. Semoga pemimpin Jakarta juga bisa menjadi seorang pengambil keputusan yang melihat preferensi masyarakat dan bertindak adil. Namun paling akhir dan yang terpenting, semoga ke depan masyarakatnya dapat memiliki karakter dan kepribadian untuk menjaga lingkungan. 
“Jangan sampai budaya pragmatis yang hanya mengedapankan individualisme dipertahankan. Ibukota membutuhkan anak-anaknya yang peduli untuk membangun Jakarta sebagai cover terbaik Indonesia.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEMAHASISWAAN ITB DI MATA NYOMAN ANJANI: SANG PEMIMPIN PERGERAKAN MAHASISWA ITB

YAKIN BERHIJAB?

PENGORBANAN SELALU MEMBUTUHKAN HARGA