HAK PILIH TERBENTUR BIROKRASI

9 Juli 2014. Akhirnya semua telah berakhir. Rakyat telah menentukan pilihannya. Berharap semoga amanah rakyat yang benar-benar mendambakan pemimpin yang mampu membawa mereka pada kesejahteraan yang lebih baik tidak diselewengkan oleh oknum-oknum tak bertanggungjawab. Kini kita hanya menanti siapa yang benar menjadi pemimpin. Satu pihak mengklaim kemenangan dirinya. Pihak lain juga merasa dialah presidennya. Bodoh amat dengan suara simpang siur di berbagai media massa dan elektronik, toh lembaga berwenang belum menentukan hasil.

Saya juga memiliki pilihan tentang pemimpin idaman bagi negeri  ini. Semenjak berbulan-bulan yang lalu, berbagai perkembangan berita dan debat kedua calon tak luput dari perhatian. Meskipun kadang cukup jenuh melihat bagian fanatisme pendukung kedua pihak dengan berbagai kampanye hitam dan negatif. Tapi biar itu menjadi urusan mereka dengan Tuhannya saja. Memang sekarang zaman sudah semakin canggih. Semua dapat dengan mudah diupdate melalui media sosial. Harus bisa semakin cerdas memfilter mana fakta dan mana isapan jempol belaka.

Senang sekali untuk pertama kalinya saya diundang menjadi peserta pesta demokrasi di Indonesia. Saya berusaha menggunakan hak suara saya seoptimal mungkin menjadi seorang pemilih pemula yang "cerdas". Tidak hanya seorang swing voter. Meskipun niat hati sempat beralih dari ketetapan memilih seorang calon dan justru akhirnya berbalik dengan hati yang mantap mendukung calon yang lain dengan beberapa pertimbangan. Namun apa daya kini suara saya tak lagi berguna. Tak ada tinta ungu melekat di kelingking ini. Bukan karena saya ingin menjadi golput atau bersikap apatis. Tapi kekurangan informasi menyebabkan hak suara ini hilang.

Kecewa. Ya, itu yang saya rasakan awalnya. Sudah bersemangat datang ke TPS. Ternyata eh ternyata, panitia tak mengizinkan hanya karena terbentur jalur birokrasi negeri ini. Tak ada syarat administrasi yang dipenuhi. Menanti ada kesempatan, toh keputusan sama saja. Pasrahlah saya menerima keadaan. Mungkin memang salah saya yang tak mengikuti informasi cara memilih di TPS luar daerah saya. Tapi apa benar, hanya begitu. Kalo memang kesalahan hanya pada satu individu, lalu mengapa masih banyak rakyat Indonesia yang menjadi perantau juga mengalami masalah yang sama. Terbentur birokrasi sehingga tak bisa ikut berdemokrasi menggunakan suaranya. Bahkan protes pun muncul dari masyarakat yang mengalami nasib serupa.

Sedih saja membayangkan ribuan suara yang sia-sia dan dianggurkan hanya karena tak tahu proses birokrasi yang baik. Saya pun juga merasa informasi baru datang dalam waktu yang mepet. Mau mengurus, eh sudah saja tutup pendaftaran. Katanya bisa bawa KTP saja ke TPS, ternyata syarat dan ketentuan berlaku. Apa gunanya kita memboroskan anggaran negara untuk membuat e-KTP kalo ternyata sistem masih manual? Percuma saja hanya menghamburkan uang.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEMAHASISWAAN ITB DI MATA NYOMAN ANJANI: SANG PEMIMPIN PERGERAKAN MAHASISWA ITB

YAKIN BERHIJAB?

PENGORBANAN SELALU MEMBUTUHKAN HARGA