PEMBUAT PERATURAN ATAU PEMBUAT(-BUAT) PERATURAN
Kembali memberikan refleksi yang masih berkutat dengan dunia birokrasi. Bukan suatu hobi untuk membahas dunia ini, tapi ya beginilah sekarang adanya saya yang secara sengaja mencemplungkan diri menjajal pengalaman dunia ini. Dan kini saya merasa tergelitik untuk mencurahkan pikiran mengenai pengamatan saya beberapa hari yang lalu.
Dua hari yang lalu, di tengah kebosanan melamun padahal baru beberapa jam melewati jam kerja karena pekerjaan yang telah kunjung usai dan tak tahu harus melakukan apa, tiba-tiba atasan meminta saya untuk mengikuti rapat konsultasi rancangan peraturan daerah penertiban pembangunan gedung suatu kabupaten di Sulawesi Selatan. Cukup menarik minat saya. Baru pertama kali punya pengalaman mengikuti rapat dengan anggota legislator daerah. Berharap dapat membuka wawasan. Dan memang iya, wawasan terbuka. Tapi wawasan yang justru kini menimbulkan pertanyaan tentang kerja anggota legislatif. Bukan bermaksud menjelekkan mereka. Karena saya pun tak bisa men"judge" semua anggota legislatif memiliki pandangan yang serupa.
Tapi sungguh ada ganjalan kecewa dan berkecamuk emosi penuh tanya dalam pikiran. Inikah cerminan abdi negara yang dikatakan "sang pembuat peraturan" di negeri ini? Benarkah peraturan ini dibuat karena adanya aspirasi untuk menyejahterakan masyarakat? Ataukah hanya kebutuhan semata untuk menjadi pundi-pundi pemasukan para dewan? Ditambah lagi dengan pemborosan untuk konsultasi ke Pusat. Padahal anggaran dapat dihemat melalui kecanggihan teknologi email atau telepon. Toh, saya tak menangkap poin urgensi konsultasi ini sebagai seorang penonton. Hanya melihat celotehan semata tentang kondisi daerah yang menginginkan pembangunan dengan alasan ingin rakyatnya sejahtera. Lalu mengapa harus menyebut adanya investor yang telah siap datang membantu. Ups, atau itu ungkapan keceplosan yang seharusnya tak diungkap.
Heran seribu heran. Mungkin saya memang belum menjadi seorang staff profesional perencanaan dan penataan ruang. Tapi setidaknya saya telah mendapatkan ilmu ini semenjak 2 tahun yang lalu. Dan saya melihat peraturan yang mereka buat tentang penertiban gedung hanya mengada-ada. Terlalu umum dan normatif, bapak ibu. Toh, bukannya sudah ada RDTR yang membahas secara lebih rinci mengenai hal tersebut. Bahkan telah membahas konten peraturan zonasi kawasan. Lebih rinci lagi, ada bahasan tentang aturan KDB, KLB, KDH, GSB dan sebagainya yang sudah sangat detail. Dibanding membuat peraturan penertiban gedung yang mereka sendiri saja belum tentu paham mau dibuat seperti apa kontennya, kenapa tidak segera selesaikan saja RDTR nya agar bisa segera diPERDAkan. Dalam hati, timbul sedikit kata-kata picik, atau beginikah kondisi para wakil rakyat yang akan segera lengser dari jabatan? Mencoba memompa pundi-pundi rupiah untuk kantong sendiri agar perut tetap terisi.
Atasan pun lalu berbicara memberikan pertimbangan. Namun bagi saya justru bukan solusi hanya kata-kata normatif belaka dan mungkin beberapa membuka wawasan. Dan saya pun merasa tak sependapat dengannya yang memperbolehkan raperda ini dilanjutkan sebelum RDTR disahkan. Lalu apa gunanya daerah dipaksa bekerja keras segera menyelesaikan RDTR kalau justru mereka lebih fokus pada peraturan baru yang tak tahu tujuan pastinya? Mengapa tak tuntaskan saja aturan yang sudah jelas landasannya dan justru lebih memberikan manfaat spasial bagi daerah? Namun, sebagai bawahan yang statusnya pun hanya magang masak mau berlawanan dengan atasan. Tak mungkinlah. Toh saya juga hanya dianggap sebagai penonton dan pendengar.
Oke, setelah berbincang selama setengah jam sesi 1 selesai. Baiklah dapat ditutup rapat ini. Tapi ternyata, muncul bumbu-bumbu lain yang lebih panas. Bahkan bisa jadi isu strategis melebihi pembahasan raperda tadi. Tak sengaja keceplosan seorang dewan menyebut telah mengadakan proyek reklamasi. Padahal izin belum keluar dan kajian AMDAL tak ada, parahnya di rencana tata ruang pun tak memberikan kebijakan seperti itu. Tapi alasannya, bupati sudah acungkan jempol tanda setuju. Okelah proyek berjalan. Lalu, kalo begitu adanya, apa gunanya peraturan? Toh pimpinan bisa langsung memberikan izin eksekusi? Kasihan para perencana yang telah mengatur semua supaya baik adanya. Lantas, bagaimana bisa kita membangun sustainable development? Jika mindset pemimpin daerah ini justru ingin merusak ekosistem alamnya. Beralaskan membentuk kabupaten menjadi water front city, maka langkah reklamasi dilakukan.
Coba bapak ibu bilang teori darimana yang menyebutkan water front city harus melalui reklamasi? Atau kalau reklamasi mereka anggap sebagai sebuah sarkasme, mereka ralat dengan penimbunan. Hei, apa bedanya bapak ibu dewan yang terhormat! Sama saja Anda akan merusak keindahan biota laut. Rasa hati mulai jengkel melihat segala sandiwara kemunafikan para dewan legislatif. Ingin segera diakhiri saja perdebatan tak berujung dibanding memicu emosi di bulan Ramadhan.
Inikah gambaran mental "sang pembuat peraturan" republik demokrasi sekarang? Tak lagi berlandaskan aturan, hanya menuruti kepentingan beberapa pihak semata. Dengan kamuflase untuk meningkatkan PAD agar ekonomi daerah maju, namun justru membantai dan membunuh ekosistem alam. Jika tumbuhan dan ikan disana juga dapat disebut rakyat Indonesia, mungkin mereka akan berteriak karena pimpinan tak lagi menyejahterakan rakyatnya. Hanya memuaskan nafsu investor semata. Namun mereka tak lagi mampu bersuara karena pasir telah menimbun jasad mereka.
Jika paradigma ini terus tumbuh begini adanya, sungguh miris nasib anak cucu kita. Indonesia sang negara maritim terbesar dunia hanya sebuah dongeng kitab belaka. Karena lautan telah beralih jadi daratan untuk kepuasan birokrat sekarang. Kenapa harus menjadikan semua dalam satu ragam. Bukankah perbedaan itu keindahan apabila tercipta dalam keseimbangan, seperti daratan dan lautan. Masing-masing punya eksotismenya. Bentangan gunungm padang dan lautan, itulah pembentuk Nusantara. Akankah salah satunya harus terus dihancurkan? Dalam hati, hanya mampu meminta kepada Sang Maha Kuasa, semoga generasi pemimpin mendatang, lebih punya hati mencintai ibu pertiwi.
Komentar
Posting Komentar