MUDIK



Bagi saya, mudik merupakan suatu budaya khas Indonesia. Tradisi pulang ke daerah masing-masing yang hanya dilakukan oleh masyarakat Indonesia tiap tahun, dan biasanya untuk menyambut momen Lebaran. Meskipun tak beragama Muslim pun, orang-orang tetap melakukan tradisi ini, dengan satu tujuan besar, kerinduan akan kampung halaman.

Biasanya mudik banyak dilakukan oleh masyarakat yang sedang merantau ke kota-kota besar untuk mencari penghidupan yang lebih layak ataupun menuntut ilmu dengan kembali ke daerah masing-masing saat momen-momen libur Lebaran. Keterbatasan waktu dan finansial seringkali menjadi penyebab jarangnya intensitas orang kembali ke daerahnya . Sehingga mereka sangat memanfaatkan momen-momen libur panjang, seperti Lebaran, untuk dapat melepas rindu pada keluarga dan sanak saudara di kampung halaman. 

Seringkali, tradisi mudik ini juga membawa beberapa dampak yang kurang baik, seperti adanya kemacetan pada jalan-jalan utama antarkota dan antarprovinsi, contohnya Jalur Pantura dan Jalur Selatan yang sering menjadi jalur utama yang dilalui oleh para pemudik dari kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Tangerang dan Bogor menuju daerah-daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain itu, apabila pemudik tidak menjaga kondisi badan dalam keadaan fit dapat menimbulkan kecelakaan lalu lintas karena mengalami kelelahan saat mengemudikan kendaraan pribadi.

Pada tulisan ini, saya ingin lebih berbagi pengalaman mudik saya pada tahun ini. Tradisi mudik baru saya rasakan selama 3 tahun terakhir semenjak saya menginjakkan kaki di Kota Bandung untuk menuntut ilmu pada sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) disana. Mudik pertama saya lalui dengan cukup lancar bersama teman-teman kampus yang berasal dari daerah yang sama dan tergabung dalam sebuah Paguyuban “Widyakelana”. Waktu itu, kami memesan 2 buah bus yang mengantarkan kami dari Bandung menuju Solo. Tahun berikutnya, saya memilih mudik sendiri dengan menggunakan moda transportasi kereta api jauh-jauh hari sebelum Lebaran sehingga memiliki lebih banyak waktu menghabiskan momen-momen liburan bersama keluarga dan teman di Solo menjelang Lebaran.

Namun, kali ini saya merasa sangat kerepotan dalam mempersiapkan perjalanan mudik karena adanya beberapa agenda tambahan yang harus saya jalani sebelum Lebaran. Kegiatan kerja praktek selama 2 bulan di Jakarta membuat saya harus menunda jadwal kepulangan di Solo hingga H-2 menjelang Lebaran. Kepastian jadwal kerja praktek yang baru saya dapatkan pada akhir Mei membuat saya tidak dapat merencanakan untuk memesan tiket kereta api terlebih dahulu. Di saat jadwal yang pasti telah keluar, ternyata tiket kereta dari Bandung ke Solo sudah habis untuk semua kelas. Malang nian nasib saya. Padahal masih berada pada H-80 Lebaran, tapi ternyata orang-orang lebih memiliki perencanaan yang hebat dari saya untuk memesan tiket jauh-jauh hari.

Terlintas opsi lain untuk memesan tiket langsung dari Jakarta menuju Solo. Wah, ternyata hasilnya sama saja. Sudah banyak tiket yang habis terjual dan hanya tersisa tiket kereta kelas eksekutif dengan harga 600 ribu Rupiah. Tak mungkin bagi saya untuk membeli tiket dengan harga semahal itu apalagi dengan status sebagai “mahasiswa status middle low class”.

Akhirnya, saya dengan sedikit berat hati memutuskan opsi terakhir untuk melakukan perjalanan mudik dengan menggunakan bus umum jurusan Bandung-Solo yang memiliki agen di dekat kampus saya. Karena keterbatasan waktu dan tenaga untuk membeli tiket, akhirnya saya menitipkan uang pada seorang teman. Syukurlah, H-14 Lebaran saya sudah mendapatkan tiket pulang ke Solo dengan sebuah bus eksekutif yang tiketnya seharga 250 ribu Rupiah. Ingin mencari tiket yang lebih murah, namun sayangnya sudah habis. Ya sudahlah apa daya momen Lebaran memang sangat memberikan dampak kenaikan harga pada semua moda transportasi bahkan mencapai hampir 2 kali lipat seperti yang saya alami.

Betapa senangnya saya, saat tiket bus sudah di tangan karena merasa aman. Namun, sialnya saya baru menyadari satu minggu menjelang Lebaran bahwa opsi melakukan perjalanan mudik dengan menggunakan bus adalah sebuah pilihan yang sangat buruk apalagi H-2 menjelang Lebaran. Bayangkan betapa macetnya kondisi jalanan. Harus berapa jam saya melakukan perjalanan dari Bandung menuju Solo apalagi menggunakan jalur Pantura yang terkenal selalu mengalami kemacetan panjang setiap tahun menjelang Lebaran. Haduh, membayangkan semuanya membuat saya merasa sangat kesal dengan perjalanan yang akan saya lalui. 

Meskipun sedikit beruntungnya saya memiliki teman seperjalanan kali ini. Berita buruk yang memperparah kekesalan adalah saat mengetahui Jembatan Comal mengalami kerusakan. Jembatan tersebut merupakan jembatan penghubung Jalur Pantura yang terletak di Kota Pemalang. Ditambah lagi, teman saya yang memberikan info bahwa salah seorang kenalannya baru saja melakukan perjalanan mudik dari Bandung ke Solo melalui Jalur Pantura pada H-5 Lebaran dan menghabiskan waktu hingga 32 jam perjalanan. Sungguh suasana hati yang tak mengenakkan di kantor menjelang hari-hari terakhir kerja. Tapi ya sudahlah saya mencoba membiarkan semua berlalu begitu saja. Mungkin dengan menikmati semua membuat saya dapat menghilangkan paranoid di otak tentang perjalanan mudik yang membosankan.

Hari H keberangkatan saya menuju Solo pun tiba. Sebelum berangkat, saya sudah merasakan sedikit kekesalan karena bus yang mengantarkan saya terlambat hingga 1 jam lebih. Setelah itu, saya juga harus berganti bus atau “dioper” ke bus lain oleh agen bus Kramat Djati yang saya pilih. Kekesalan saya semakin memuncak karena bus yang saya tumpangi sekarang memiliki fasilitas yang sangat berbeda dengan bus yang saya pesan seharga 250 ribu. Jumlah seat seharusnya 32 seat untuk eksekutif, namun nyatanya mencapai 50 seat, tidak ada fasilitas bantal dan selimut serta jarak tempat duduk depan dan belakangnya sangat sempit sehingga saya harus merelakan ransel saya yang berisi laptop untuk ditaruh di bagasi. Walaupun saya awalnya merasa cukup khawatir ransel saya akan mendapat perlakuan semena-mena namun saya coba pasrahkan saja, berdoa semoga tidak kenapa-kenapa. Dan syukurlah laptop saya selamat sampai Solo sehingga saya dapat menulis tulisan ini.

Kekesalan tampak menuju puncaknya sesaat setelah beberapa jam perjalanan tiba di Sumedang, bus yang saya tumpangi mengalami masalah karena kampas remnya terbakar sehingga menimbulkan bau gosong. Sungguh sial nian rasanya nasib saya saat itu. Tapi ya mungkin ini rencana Tuhan untuk memberikan saya kesempatan makan malam karena pasti perjalanan masih sangat panjang. Untunglah nasi ayam opor dan teh manis panas seharga 21 ribu yang saya rasa sangat mahal berhasil mengenyangkan perut saya.

Selama hampir 4 jam di bus, saya lebih memilih menghabiskan waktu untuk tidur karena kondisi yang sudah larut juga. Kemudian tibalah waktunya sahur dan kami mampir di sebuah pom bensin di daerah Cirebon untuk membeli makanan sahur. Saya hanya memilih memakan susu dan cemilan. Kemudian mengambil sedikit waktu untuk ke toilet. Kembali ke bus, ternyata saya telah menjadi penumpang kedua terakhir yang masuk ke bus sebelum teman saya. Betapa tak enak hati rasanya kepada penumpang lain karena merasa agak menghambat perjalanan. Tapi apa daya antrian toilet yang cukup panjang membuat saya menunggu lama.

Bagi saya, cerita mudik kali ini adalah momen yang paling berkesan dan membawa suka duka bagi saya. Senang karena saya ternyata diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk menikmati keindahan pemandangan lokal yang ada di berbagai daerah di sepanjang jalur Pantura, seperti Cirebon, Pekalongan, Kendal, Batang, Pemalang, dan sebagainya. Saya baru pertama kali merasakan kesempatan untuk dapat melihat tiap-tiap sudut kota daerah tersebut dan rasanya saya melihat banyak fenomena-fenomena sosial yang mungkin sederhana  tapi berbeda di tiap daerah.

Hal ini mengingatkan saya pada pelajaran yang saya dapatkan di jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota. Saya mulai berpikir, tatkala zaman keemasan saya telah datang untuk ikut berkontribusi membangun negeri ini, kira-kira siapakah calon-calon pemimpin dari generasi saya sekarang yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan dari generasi saat ini. Akankah ternyata teman-teman saya sendirilah di jurusan Planologi ITB yang mendapatkan kesempatan untuk membenahi dan menata kondisi daerah-daerah yang saya lalui selama perjalanan mudik ini serta meningkatkan hajat hidup masyarakatnya. Rasanya sungguh indah lamunan tersebut pabila dapat diwujudkan menjadi sebuah realita.

Akhirnya, dari berbagai kekesalan karena kesalahan teknis yang saya alami selama perjalanan mudik dapat ditutup dengan suatu bingkisan ucapan syukur kepada Sang Maha Kuasa karena memberikan saya kesempatan untuk melihat kondisi daerah-daerah lain di Indonesia dan memiliki momen untuk melepas rindu bersama keluarga pada kesempatan yang kesekian kali.
Oh, kiranya momen mudik Lebaran akan menjadi momen yang selalu memiliki kesan unik yang berbeda setiap tahun dan saya masih diberikan umur panjang untuk menikmati momen tersebut di tahun berikutnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEMAHASISWAAN ITB DI MATA NYOMAN ANJANI: SANG PEMIMPIN PERGERAKAN MAHASISWA ITB

YAKIN BERHIJAB?

PENGORBANAN SELALU MEMBUTUHKAN HARGA