SETELAH S1, LALU?

Sudah 32 hari saya menjalani kehidupan pra karir di dunia baru ibukota. Menjajal calon dunia saya nanti (mungkin). Tiba-tiba saya kembali pada ingatan beberapa bulan lalu dimana saya sangat bersemangat untuk segera menjalani kerja praktek di suatu instansi pemerintah. Hal yang mungkin kurang menarik bagi orang lain. Tapi, bagi saya ini adalah sebuah passion. Terlebih dari dulu saya berita-cita menjadi seorang birokrat.

Namun, entah mengapa semangat kerja yang menggebu-gebu hanya bertahan beberapa hari. Atau mungkin telah lenyap sebelum minggu pertama kerja saya usai. Mungkin karena saya tipe orang yang mudah bosan. Ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap pekerjaan berbanding terbalik denga realita yang ada. Pengalaman memang ada. Pengetahuan semakin luas. Bahkan mungkin "pengetahuan" yang tidak akan pernah saya dapat apabila saya tidak tercemplung langsung ke dalam dunia birokrasi seperti sekarang. Tapi sayang, tantangan yang didapat sampai sekarang masih NOL BESAR.

Semangat menjadi seorang birokrat pun mulai rontok hingga percakapan yang saya dapatkan hari ini dengan seorang staf subdit yang menurut saya masih cukup idealis. Namanya Mbak Ulie. Ya, dia bercerita tentang perbedaan kehidupan dan kesejahteraan PNS dahulu dan sekarang. Terutama PNS yang bekerja di Kementerian "Perencanaan" ini. Kementerian ini dianggap selalu punya keistimewaan dibanding kementerian lain. Dan hal itu memang terbukti dari tingkat kesejahteraan yang diperoleh karyawan. Menurut cerita Mbak Ulie, dulu staf kementerian sangat sejahtera, banyak rapat tiap hari, bahkan tanpa gaji bulanan, mereka sudah bisa memenuhi kebutuhan bulanan dengan insentif dan uang makan atau tunjangan-tunjangan lain. Dan entah darimana uang berasal yang mereka tahu hanyalah kesejahteraan tinggi. Bahkan, satpam kantor pun dapat menabung membeli rumah. Namun semua berubah, semenjak adanya kebijakan REMUNERISASI. Penghasilan langsung turun sekitar 50% katanya. Makanya harus cari-cari sampingan buat PNS laki-laki biar tetap bisa mencukupi anak istri. 

Perbincangan seru siang hari di basement ini membuat saya berpikir kembali tentang rencana yang saya bangun untuk beberapa tahun ke depan. Benarkah  menjadi seorang abdi negara di usia saya yang masih cukup muda ini menjadi pilihan utama?  Sementara saya masih dapat mengejar cita-cita untuk melanjutkan pendidikan di salah satu universitas terkemuka di Negeri Menara Eiffel, Negara Sejuta Tulip atau Benua Kangguru tetangga Indonesia.

Teringat ucapan Mbak Ulie, sayang sekali untuk seorang fresh graduate langsung memasuki dunia birokrasi saat ini, lebih baik cari pengalaman di lapangan. Kalau sudah mulai bosan di lapangan atau swasta dengan tingkat disiplin kerja yang tinggi, ya bolehlah daftar jadi PNS masuk siang tidak ada yang berani marahin.  Dalam hati, miris sekali realita kehidupan sehari-hari seorang abdi negara. Dan mungkin saya juga dapat mengamati langsung. Datang siang tak masalah, pulang duluan silahkan saja. Makan siang sudah disiapkan. Datang rapat dapat amplop meskipun tak setebal dulu (katanya). Itu baru sebagian yang dapat diamati tiap hari. Entah hal-hal lain yang masih terselubung dan tak dapat dilihat secara kasat mata.

Tak terasa, kini saya telah menjadi bagian mahasiswa jenjang akhir di kampus. Dan jika Tuhan merestui rencana saya, maka tak sampai 12 bulan saya telah melepas gelar mahasiswa saya menjadi seorang Sarjana Teknik. 3 tahun ini saya telah memantapkan hati untuk berkarir di dunia birokrasi setelah saya lulus. Tapi, justru semenjak saya merasakan realita kehidupan birokrasi sekarang, saya justru merasa lelah dan kadang muak. Semangat kerja yang tinggi seharusnya sebagai seorang lulusan baru nanti justru dapat terbuang sia-sia dengan kegiatan di tempat kerja yang tidak jelas. Penghasilan pun belum tentu jelas pula kapan turun. Pantas saja banyak anak ITB cenderung memilih bekerja di perusahaan swasta asing ataupun dalam negeri. Meskipun tak ada jaminan kesejahteraan pensiun, tapi tunjangan pegawai terjaminlah. 
 
Bukannya berpikir picik mengenai gaji, tapi toh bukannya itu juga menjadi salah satu tujuan orang bekerja. Ya, untuk mendapat penghasilan. Sementara, apabila abdi negara saja kini merasa kurang sejahtera terutama yang masih baru. Bagaimana generasi muda mau mengabdi untuk negaranya? Cukup munafik di era modern sekarang, mencari orang idealis yang mau mengabdi negaranya karena rasa nasionalisme. Mungkin ada, tapi ya dibandingkan dengan penduduk Indonesia sekarang, hanya satu dari sekian ratus ribu atau juta mungkin.

Kembali berkaca pada diri sendiri. Lalu, sebenarnya apa yang saya inginkan setelah S1? Langsung mengejar gelar master untuk bidang kebijakan ekonomikah di Eropa atau Australia? Atau mencari pengalaman kerja di proyek swasta. Atau mungkin mencoba terjun di bidang akademisi. Ya, seperti yang sedang saya coba sekarang, menjadi seorang asisten dosen. Pikir saya, jika saya mulai dari sekarang maka cukup terjaminlah hidup saya setelah saya lulus karena sebelum mendapat kerja bisa membantu proyek-proyek dosen.

Tapi, ternyata ada hal lain yang menyita perhatian. Keluarga. Meskipun saya bukan sosok anak laki-laki yang akan menjadi tulang punggung keluarga. Tapi saya tetap anak sulung yang harus memikirkan nasib adik-adik saya. Saya tak rela jika keberhasilan meraih gelar S1 hanya menjadi milik saya. Masa depan kedua adik saya tetap menjadi tanggungjawab saya meskipun itu kewajiban utama orang tua. Tapi siapa yang tahu kesehatan dan umur panjang semuanya rahasia Tuhan. Saya harus bisa membuat mereka menempuh langkah lebih dari yang saya rasakan sekarang.

Mungkin, hanya satu keputusan pasti tentang masa depan saya. Dunia birokrasi biarlah menjadi mimpi tertunda di jejak langkah saya selanjutnya.Bukan lagi tujuan utama saya sebagai seorang fresh graduate. Saya masih ingin berpetualang dengan kehidupan dan tidak terkekang dengan kursi dan komputer di atas meja. Menjelajah Indonesia. Menjelajah belahan dunia yang belum pernah saya lihat. Ya, itulah harapan yang akan terus saya pupuk setelah menjadi seorang sarjana.
 
"I love my life as my adventure to get the highest achievement."


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEMAHASISWAAN ITB DI MATA NYOMAN ANJANI: SANG PEMIMPIN PERGERAKAN MAHASISWA ITB

YAKIN BERHIJAB?

PENGORBANAN SELALU MEMBUTUHKAN HARGA