ANAK REFORMASI

1998. Suatu masa dimana rezim pemerintahan selama lebih dari 30 tahun di negeri ini digulingkan. Entah benar-benar karena perjuangan para mahasiswa kah atau adanya konspirasi dari beberapa petinggi negara yang menginginkan sang pemimpin turun dari tahtanya untuk mengincar kekuasaan tersebut.
Teriakan para mahasiswa mengguncang ibukota negara. Demonstran meminta sang penguasa orde baru lengser dari kursi kekuasaan. Kerusuhan pun melanda berbagai tempat. Entah darimana asalnya para pengrusak. Mereka datang menghancurkan berbagai bangunan komersial. Sang jago merah berkobar di seluruh wilayah ibukota. Korban pun tak terelakkan. Dan kebanyakan adalah para etnis Tionghoa. Mereka dibunuh, dibakar, toko-toko dan rumah mereka dirusak serta dijarah. Para istri dan anak perempuan diperkosa dan mengalami kekerasan seksual. Sungguh trauma yang sulit dihilangkan dalam ingatan setiap insan etnis Tionghoa.
Negeri yang katanya memiliki semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" justru tega melakukan perbuatan keji pada mereka. Meskipun mereka berkulit putih, bermata sipit, memiliki ras berbeda,tapi mereka tetaplah warga Indonesia. Mereka berhak atas perlindungan dari negara sama seperti warga lainnya.

Namun aku pun tak bisa men"judge" terlalu banyak karena aku bukanlah bagian dari anak orde baru. Aku memang sempat merasakan pelik dan sejahtera kehidupan orde baru. Tapi aku belum memahami inflasi negara yang tiba-tiba melambung, nilai rupiah yang turun, utang negara yang membengkak ataupun berbagai realita kompleks di masa itu. Aku hanya mengerti film kartun yang kunikmati setiap minggu pagi, bersenang-senang dengan temanku di TK, uang jajan dari ayah dan ibu dan berbagai kesenangan yang dapat dipahami oleh anak usia 4 tahun.
Namun, hari itu rasanya sungguh aku mengalami ketakutan terbesar pertamaku tinggal di kota kelahiranku. Solo. Kota kecil yang selalu kulihat aman, nyaman dan damai. Berubah menjadi suatu sumber malapetaka bagi beberapa pihak. Supermarket dan mal dibakar. Masyarakat menjarah berbagai barang-barang di toko. Demonstrasi terjadi dimana-mana. Bahkan kudengar korban pun berjatuhan. Sungguh ngeri rasanya hari itu seorang bocah 4 tahun yang sedang berjalan bersama kedua orang tuanya melihat kobaran api menyala di supermarket tempat ibu biasa berbelanja. Dan banyak orang berkerumun, berteriak, merusak dan menjarah barang-barang di dalam. Bahkan kotaku telah dinilai sebagai kota yang sangat mudah terprovokasi dengan masalah perbedaan ras dan etnis. Tak khayal bangunan pertokoan yang hancur kebanyakan adalah milik etnis Tionghoa.

Tapi, aku bersyukur. Aku bukanlah anak yang harus terkungkung hidup pada era orde baru. Dan aku juga dapat menikmati peralihan era besar pemerintahan dalam hidupku ini. Kini aku telah tumbuh dan berkembang sebagai anak reformasi. Anak yang berhak berpendapat di muka umum. Mengumabar status di facebook atau kicauan di twitter tentang berbagai para petinggi bangsa atau partai politik. Tak perlu takut dengan bendera partai kuning. Ataupun takut hilang diculik dan mati dibunuh.

Anak reformasi dapat mengkritisi pemerintahannya. Menuntut haknya. Untuk hidup. Mengeluarkan pendapat. Mendapatkan penghidupan yang layak. Mendapatkan lapangan kerja. Mendapatkan pendidikan. Memanfaatkan kekayaan alam bangsanya. Ataupun hak lain sesuai dengan yang tercantum dalam landasan fundamental bangsaku. Meskipun anak reformasi juga perlu mengingat kewajibannya.

Jangan cuma asal menuntut saja haknya. Toh, zaman sekarang sudah caggih. Hampir tiap orang di negeri ini terhubung dengan teknologi komunikasi dan mampu melihat berbagai tayangan media. Jadi janganlah berpikiran konvensional seperti anak orde baru yang takut untuk berpendapat dan menuntut.

Namun, ada satu hal yang perlu diingat anak reformasi. Saat ini, negeri kita belum lepas dari penjajahan. Jika dulu rempah-rempah kita yang dijajah bangsa asing. Kini kekayaan alam kita lainnya pun masih dijajah bangsa asing melalui kecerdasan mereka dengan menanamkan investasi perusahaan mereka untuk mengelola kekayaan kita. 
Masih cukup tak mampukah kita untuk mengelola kekayaan alam bangsa kita sendiri? Masih senangkah kita berada di zona nyaman kita? Sementara berjuta rakyat kita lainnya masih hidup di bawah garis kemiskinan. Inikah hasil dari reformasi negeri ini. Hanya sekedar kecerdasan bagi anak-anaknya untuk menggunakan gadget yang dibuat bangsa asing bukan mencipta teknologi untuk mengelola kekayaan alam bangsanya.
Lalu, bagaimana nasib pemuda pemudi bangsa yang telah berkarya bagi bangsa ini? Konon katanya pemerintah kurang menghargai karya mereka. Ataukah ini hanya kabar burung belaka. Kepada siapakah aku harus mencari jawab atas kebenaran realita ini? Di saat kebenaran menjadi suatu harga mahal di tengah bangsa ini. Karena penjara-penjara pun telah dipenuhi oleh banyaknya para pembohong, seperti koruptor. Yang seharusnya mengemban jabatan sebagai amanah. Namun disalahartikan untuk mengeruk harta, kuasa dan popularitas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEMAHASISWAAN ITB DI MATA NYOMAN ANJANI: SANG PEMIMPIN PERGERAKAN MAHASISWA ITB

YAKIN BERHIJAB?

PENGORBANAN SELALU MEMBUTUHKAN HARGA