MANUSIA BERKEPALA DUA

Jika Indonesia memiliki momen bersejarah dalam hidupnya pada 17 Agustus 1945, maka aku menetapkan 6 Februari 1994 sebagai momen paling bersejarah dalam hidupku. Karena tepat pada tanggal tersebut seorang bayi mungil memperoleh kemerdekaan dari rahim ibunya. Untuk pertama kali, sang bayi, yang tak lain adalah aku, menghirup udara kebebasan di dunia.

Dan kini, di tahun 2014, bayi perempuan itu telah berubah menjadi seorang perempuan. Perempuan yang telah memiliki usia cukup matang. Ya, 20 tahun. Bagiku, 20 tahun adalah titik balik dalam hidupku. Usia dimana aku tak lagi menjadi anak kecil dan remaja manja yang selalu meminta serta bergantung kepada orang tua atau orang-orang di sekitarnya.

Kalau kata orang, aku telah menjadi seorang manusia kepala dua. Menurut definisiku, manusia berkepala dua adalah manusia yang telah mampu memilih jalan hidupnya sendiri. Memecahkan tiap masalah yang dihadapi dan bergantung pada kemampuannya.

Apabila dulu aku hanya berpikir tentang hari ini dan mungkin besok yang selalu diwarnai dengan hedonisme semata. Kini pikiranku telah berubah. Aku mulai berpikir tentang kehidupanku 5, 10 hingga puluhan tahun mendatang. Aku berpikir apa yang akan kulakukan setelah aku lulus. Masihkah sama cita-cita dalam diri ini untuk menjadi seorang abdi negara ataukah aku akan beralih menjadi seorang buruh di perusahaan nasional atau bahkan multinasional. Berpikir tentang tanggungjawab yang harus kuemban sebagai anak pertama dalam keluargaku. Memikirkan kehidupan orang tua dan masa depan adik-adikku kelak. Sungguh segala hal yang kompleks menjadi seorang manusia berkepala dua.

Tak cukup tentang keluarga dan diriku. Aku juga mulai berpikir siapa partner hidupku nanti. Bagiku ini hal yang sama kompleksnya. Entah 5 tahun akan terasa lama atau sebentar. Tapi itulah targetku untuk memasuki jenjang komitmen bersama partnerku kelak. Membangun sebuah keluarga. Memiliki keturunan. Oh, siapkah aku nantinya menjadi seorang istri? Menjadi seorang ibu? Hal yang setahun silam belum terpikir olehku tapi kini mulai membayangi masa depanku. Namun aku berharap semoga aku mendapatkan yang terbaik bagi diriku dan keluargaku nanti.

Aku merasa sekarang hidup tak lagi sebercanda dulu. Fase serius dalam hidupku semakin meningkat. Aku tak lagi dapat bermain-main dengan segala sesuatu yang ada di hidupku. Meski hidup ini kadang layaknya sebuah permainan. Tapi kau juga punya resiko yang harus kau tanggung saat bermain. Sehingga, segala sesuatu yang dilakukan harus dipertimbangkan. Tak bisa mengambil keputusan tergesa-tergesa supaya tak salah langkah.

Rasanya kembali merindukan fase masa kanak-kanak dan remajaku. Masa bermanja-manja dengan orang tua, masa berpetualang dan tak peduli dengan risikonya, masa bercanda dan berbagi mimpi bersama teman dan sahabatku. Seharusnya aku merasa senang karena mimpi yang kuukir di masa lalu akan segera dapat kuraih. Tapi kadang ada rasa bimbang bahwa aku mengalami revolusi dalam hidupku. Namun apa daya, aku bukanlah profesor yang dapat mencipta mesin waktu untuk kembali. Seandainya ada pun Tuhan tak akan membuat semua momen terjadi dua kali. Jadi aku biarkan saja semua berlalu dalam hidupku sama seperti sisa-sisa umur ini.

Ya, inilah masaku sekarang. Masa baru dalam hidupku sebagai MANUSIA BERKEPALA DUA.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEMAHASISWAAN ITB DI MATA NYOMAN ANJANI: SANG PEMIMPIN PERGERAKAN MAHASISWA ITB

YAKIN BERHIJAB?

PENGORBANAN SELALU MEMBUTUHKAN HARGA