BURUH BIROKRASI
Tulisan
ini muncul dari pemikiran semata setelah berdiskusi dengan seorang senior yang
mengkritik birokrat akibat status yang saya post.
Menurut KBBI, bi·ro·krat n 1 pegawai yg bertindak secara birokratis; 2 seorang yang menjadi bagian dari birokrasi
Menurut KBBI, bi·ro·krat n 1 pegawai yg bertindak secara birokratis; 2 seorang yang menjadi bagian dari birokrasi
Menurutku, bi·ro·krat n 1 pelayan masyarakat ; 2 buruh sistem birokrasi negara
Dalam suatu forum kegiatan yang kerap menjadi rutinitas saya dulu, KBBI bagaikan kitab pemaknaan saya. Dulu ia sangat saya agungkan. Begitu pula partner saya menamai saya "KBBI Berjalan". Menurut saya, konten KBBI adalah suatu kebenaran dari seorang ahli yang dapat dipercaya. Sehingga masyarakat awam dapat memakainya.
Namun,
kini saya merasa tak selamanya pekmanaan KBBI selalu benar. Kebenaran definisi
bukan lagi menjadi suatu hal mutlak. Saya dapat mencari makna dari tiap kata
dalam hidup. Termasuk saat ini saya dapat menemukan definisi birokrat menurut
saya.
Buruh
dari peradaban sistem birokrasi negeri ini. Itulah pemaknaan saya selama satu
bulan menjalani kerja praktek di suatu instansi tinggi birokrasi Indonesia. Mengapa saya sebut buruh? Bukankah mereka
seharusnya layak dipuja sebagai petinggi atau pejabat pemerintahan? Apakah
makna buruh terlalu merendahkan mereka?
Bagi
saya, buruh cukup wajar dipakai untuk menyebut para birokrat. Toh, mereka tak
sepenuhnya menjadi “decision maker” bagi
kepentingan rakyat. Seperti yang selalu diajarkan para dosen saya. Mereka lebih
tampak hanya sebagai eksekutor sistem birokrasi negara. Birokrasi yang lambat,
yang membela kepentingan para kapitalis, yang mengerjakan proyek asal jalan dan
dana habis terpakai (entah terpakai untuk kepentingan pihak mana). Tapi tak
tahu apakah proyek pembangunan itu benar-benar yang dibutuhkan masyarakat.
Meskipun,
selama 30 hari saya pun menyadari tak sepenuhnya mereka semua dapat disebut
buruh birokrasi karena saya melihat sedikit pancaran manusia-manusia idealis
dalam bangunan tinggi berAC lengkap dengan fasilitas milik pemerintah ini. Namun
saya bukanlah Tuhan yang juga mengetahui idealisme mereka untuk melayani
republik ini. Biarkan itu urusan mereka dengan Tuhannya masing-masing.
Saya
hanya meracau tentang kegelisahan pikiran saya ini selama bekerja bersama dengan para buruh birokrasi. Meskipun
akhirnya jika disadari, saya merasa cukup munafik menulis hal ini. Karena
separuh diri saya telah menjadi bagian dari mereka meskipun bukan bagian
sesungguhnya. Saya pun ikut menikmati fasilitas yang tak pernah saya tau
darimana sumber uangnya. Sok idealis bagi orang seperti saya mengkritik separuh
bagian diri saya. Dan mungkin akan jadi bagian hidup saya nanti.
Tapi
sekali lagi, ini hanya racauan saya. Terlalu jenuh mata saya melihat, telinga
saya mendengar, bibir saya berbicara, otak saya berpikir dan hati saya merasakan
semua kebobrokan ini. Jika memakai logika pekerja, saya pun senang dengan semua
kenikmatan para birokrat. Tapi, logika saya ada pada persimpangan. Persimpangan
mahasiswa tingkat akhir yang mencoba menjaga idealismenya hingga ia berubah
status menjadi seorang pekerja.
Hanya
satu yang coba saya pertahankan. IMAN.
"Saat otak tak lagi bisa berpikir tentang kebenaran dan saat nurani tak lagi bisa merasakan kebaikan, hanya iman kepadaNya yang saya percaya bisa membawa saya tetap menjadi manusia idealis di dunia para pekerja satu tahun mendatang."
Komentar
Posting Komentar