PLURALISME

Perkenalkan. Aku Valen. Warga Negara Indonesia. Gadis keturunan Jawa asli. Silsilah keluargaku pun berdarah murni Jawa. Tidak ada campuran dari suku lain. Entah itu memang sudah menjadi takdir jodoh dari setiap anggota keluarga besarku. Ataukah ada faktor pilihan lain, aku pun tak tahu.

Aku telah menikmati 17 tahun kehidupanku di suatu kota kecil (meskipun kini telah berkembang menjadi kota besar semenjak kepemimpinan sosok orang yang kini menjadi capres) bernama Solo. Aku telah mengenal lekat budaya Jawa dalam hidupku semenjak kecil, mulai dari tutur kata, etika berperilaku hingga setiap kearifan lokal Jawa. Kedekatanku dengan budaya Jawa sejak lahir membuatku sangat mencintai budaya Jawa dan berniat selalu melestarikan budayaku ini.

Namun, ternyata Tuhan membuka jalanku untuk mengenal berbagai budaya lain di negeriku. 17 tahun kenikmatan hidup di Solo harus kutinggalkan. Aku pun hidup menjadi seorang perantau dan harus merelakan berpisah dari kehangatan keluargaku. Pada usiaku yang ke-18, aku telah menginjakkan kaki tinggal di suatu bagian lain negeriku. Meskipun masih berada dalam satu pulau dengan daeerah asalku. Kota Bandung. Suatu metropolitan ternama selain Jakarta yang terkenal dengan keragaman budaya khas Sunda di tengah arus modernitas kota tersebut. Itulah pikiran awalku tentang Bandung.

Tiga tahun aku telah menghabiskan waktuku disini. Bagiku, hal ini merupakan suatu langkah besar mencapai cita-citaku kelak di masa depan, aku belajar banyak hal tentang pluralisme disini. Aku tak hanya melihat budaya Sunda disini. Tuhan menganugrahiku kesempatan untuk memahami miniatur keelokan budaya seluruh nusantara dalam kampusku. Aku memiliki teman-teman dari berbagai daerah, suku dan keyakinan. Ada yang berasal dari Aceh, Padang, Palembang, Lampung, Jambi, Medan, Kalimantan, Sumbawa dan berbagai daerah lain di seluruh Nusantara. Ada yang beragama Muslim (yang memang menjadi agama mayoritas negeriku), Kristen (seperti keyakinanku), Katolik, Hindu ataupun Budha. Hal yang membuatku lebih senang adalah perasaan damai yang teramat dalam saat aku merasakan hidup di tengah heterogenitas suku dan keyakinan teman-temanku.

Aku juga tak pernah berpikir picik untuk membuat jarak dengan orang yang berbeda suku dan keyakinan denganku. Aku sangat mencintai heterogenitas di tengah-tengah kehidupanku dan aku selalu berusaha menghargainya serta menjunjung toleransi dengan mereka semua. Sikap toleransi dan rasa hormat terhadap pluralisme ini kudapatkan sebagai suatu pembelajaran dalam keluarga besarku.

Meskipun keluargaku merupakan keluarga keturunan Jawa asli, tapi kami memiliki keyakinan yang berbeda-beda. Didikan dari keluargaku yang membiarkan tiap anggotanya untuk menjalani jalan hidup masing-masing membuat mereka bebas memilih keyakinan sesuai dengan pilihan hati mereka. Meskipun mungkin aku berpikir ada pasti keinginan untuk bersatu dalam suatu keyakinan sehingga kami dapat merayakan Lebaran atau Natal bersama dan menjalankan ibadah bersama. Tapi apalah artinya kesatuan itu jika semua harus dengan paksaan. Karena sesungguhnya agama adalah hak asasi setiap orang dan pilihan hidup masing-masing.

Namun, kini aku merasa pilu saat aku melihat kondisi negeriku ternoda akan konflik antar suku dan agama. Oknum-oknum tak bertanggungjawab melakukan penyerangan kepada pihak lain dengan membawa agama.  Perang-perang antarsuku terjadi di daerah dan mungkin terjadi karena masalah sepele. Sebegitu besarkah arogansi rakyat negeri ini akan keyakinan, ras, suku, warna kulit mereka masing-masing? Tidakkah rakyat negeri ini sadar bahwa meskipun ada keragaman diantara kita, namun kita tetaplah bagian dari Indonesia?

Aku percaya semua agama mengajarkan kebaikan kepada setiap umatnya. Toh, buatku Tuhan itu juga memang hanya ada satu. Namun hanya cara menyembah kita sajalah yang berbeda. Aku menyembah Tuhan melalui doa-doa yang kupanjatkan setiap hari, lalu aku pun mengikuti ibadah pada hari Minggu serta mengikuti perayaan-perayaan hari besar Kristiani. Kemudian pacarku menyembah Tuhan dengan memanjatkan doanya melalui sholat setiap hari dan mengikuti Sholat Jumat serta merayakan hari-hari besar agama Muslim. Tapi, kami mampu menghargai keyakinan masing-masing dalam hubungan kami karena itu hak paling mendasar dalam kehidupan kami.

Akan tetapi, negeriku ini... yang katanya memiliki semboyan sangat luhur "Bhinneka Tunggal Ika" (=Berbeda-beda tetapi tetap satu jua) justru seringkali terpecah karena konflik suku dan agama. Apakah pluralisme ini merupakan suatu bencana bagi bangsa ini? Bukankah ini suatu anugrah Tuhan yang harus kita syukuri selain pluralisme kekayaan alam yang negeri ini miliki? Tak ingatkah dulu masa dimana kita bersatu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia ini dari Sabang sampai Merauke tanpa menonjolkan identitas suku dan keyakinan kita?

Dalam hati ini, ada kerinduan melihat negeri ini bisa benar-benar mencintai pluralisme rakyatnya secara 'legowo'. Toh, ada banyak hal yang lebih penting yang harus dipikirkan daripada hanya stagnan meributkan perbedaan suku dan keyakinan diantara rakyat Indonesia. Coba lihatlah pluralisme kondisi ekonomi yang menurutku justru harus lebih diperhatikan dan  mendapatkan penanganan lebih intensif.

Bukankah para pemimpin pendahulu negeri ini menginginkan seluruh rakyatnya mendapatkan kesejahteraan secara merata. Namun kenapa kondisi saat ini begitu timpang dimana tingginya heterogenitas antara golongan kaya dan miskin. Atau pluralisme status sosial yang kini selalu diperhatikan oleh masyarakat modern negeri ini dimana mereka mencoba membedakan golongan bangsawan dan kaum rakyat biasa, kaum terdidik dan non terdidik dan sebagainya. Miris sekali, kawan. Tapi justru tak banyak orang menganggap itu sebagai suatu masalah penting yang perlu diperhatikan. Apa karena rakyat ini telah terbiasa hidup terkotak-kotakkan.

Rindu sekali rasanya diri ini merasakan kedamaian hidup di tengah pluralisme bangsa ini dimana tak akan lagi kudengar konflik dengan membawa nama suku dan agama. Kapan aku bisa melihat kehidupan yang damai itu? Atau lebih tepatnya mungkinkah aku dapat menikmati kehidupan damai itu sebelum aku menutup mataku selama-lamanya di atas tanah negeriku?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEMAHASISWAAN ITB DI MATA NYOMAN ANJANI: SANG PEMIMPIN PERGERAKAN MAHASISWA ITB

YAKIN BERHIJAB?

PENGORBANAN SELALU MEMBUTUHKAN HARGA